Doktrin Joint Authorship sebagai Parameter Penentuan Pencipta dalam Karya Hak Cipta
Kolom

Doktrin Joint Authorship sebagai Parameter Penentuan Pencipta dalam Karya Hak Cipta

Pemerintah bersama dengan DPR harus mempertimbangkan pengadopsian prinsip ini dalam rezim hak cipta di Indonesia dengan adanya globalisasi yang semakin berkembang pesat.

Tidak hanya itu, Brod juga menggugat Collins dan General Publishing Group karena melanggar hak cipta yang telah didaftarkannya. Namun, pengadilan menyatakan bahwa Brod tidak dapat menggugat Collins dan General Publishing Group karena Collins merupakan co-author dari foto televisi antik tersebut. Dalam menentukan bahwa Collins merupakan co-author, pengadilan menggunakan tiga unsur yang digunakan pula dalam kasus Aalmuhammed vs Lee, yaitu (i) adanya kontribusi yang original dan memberikan daya tarik pada ciptaan; (ii) memiliki kontrol terhadap pembuatan ciptaan; (iii) seluruh pencipta memiliki niat bersama untuk menjadi pencipta dari ciptaan tersebut.

Pengadilan berpendapat bahwa Collins memiliki kontribusi dan kontrol terhadap artistik dari foto yaitu menyiapkan televisi antik dan alat peraganya, memposisikan alat peraga, dan memberikan saran terhadap foto uji coba yang menunjukkan bahwa kontribusi Collins menunjukkan tingkat orisinalitas dan ekspresivitas, walaupun Collins tidak menekan tombol shutter pada kamera. Pengadilan juga berpendapat bahwa dalam kasus ini juga ada niat bersama antara Collins dan Brod dengan tunduknya Brod terhadap saran-saran tunduk pada penilaian Collins mengenai posisi televisi subjek dan sudut kamera sebelum mengambil setiap gambar serta memberikan foto dengan efek transparansi kepada Collins. Dengan demikian, Collins merupakan pencipta dalam foto televisi antik tersebut.

Dalam konteks masa kini, doktrin joint authorship menarik untuk dibahas dengan karena evolusi internet dan proses globalisasi yang memungkinkan para kreator untuk berbagi konten dan informasi ke seluruh dunia, dengan cepat dan mudah dan mudah. Kolaborasi ini, yang baru-baru ini meningkat dan meningkat dan semakin intensif selama pandemi COVID-19, terjadi secara konstan di berbagai bidang kreatif. Saat ini, banyak jenis karya, seperti seperti lagu, film, perangkat lunak, dan permainan komputer dibuat secara secara teratur melalui joint authorship. Akan tetapi, rezim hukum hak cipta yang berkembang di saat ini memiliki fenomena yang kompleks dan menarik dalam interpretasi yang tidak konsisten dari doktrin ini di pengadilan.

Doktrin joint authorship telah menjadi lebih signifikan selama selama beberapa tahun terakhir. Dalam banyak kasus, kolaborasi bukanlah peristiwa sementara atau tunggal yang berhenti setelah pencapaian satu produk, melainkan menjadi lahan subur untuk kolaborasi yang sukses dan berkelanjutan, kolaborasi yang sukses, berkelanjutan, dan sukses di masa depan (misalnya, platform Open Source). Ada dua keuntungan penting yang mendorong dan mendukung joint authorship. Yang pertama adalah spesialisasi. Sebuah karya bersama yang dibuat oleh banyak pencipta dapat menghasilkan ciptaan unik yang tidak dapat dicapai apabila diciptakan oleh satu orang saja yang mungkin memiliki keahlian yang terbatas. Di era global saat ini, banyak kolaborasi yang terbentuk di antara orang dari berbagai bidang dan spesialisasi di berbagai belahan dunia.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga kriteria dari penerapan doktrin ini. Pada bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perkembangan beberapa model dari joint authorship. Pertama, The All-or-Nothing Model yang perkembangan di pengadilan Amerika untuk menyelesaikan masalah apabila di antara para pihak tidak terdapat perjanjian tertulis yang secara tegas mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pengadilan di Amerika menekankan pada kontribusi yang sama dari setiap author, meskipun joint authorship  tidak selalu membutuhkan kontribusi yang sama dari setiap pencipta.

Dalam kasus-kasus di mana kontribusinya tidak setara, pengadilan cenderung mengabaikan kontribusi co-author demi kepentingan pencipta utama. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh persepsi yang berkembang bahwa bahwa dalam joint authorship, menurut definisi, harus mengarah pada distribusi hak yang setara di antara para pencipta. Model "The All or Nothing Model," digunakan untuk menentukan bagian dari masing-masing pencipta. Di bawah model ini, pengadilan memiliki dua alternatif.

Pertama, mengakui para pencipta sebagai pencipta bersama dan, sebagai akibatnya, membagi hak secara merata di antara mereka. Atau, jika pengadilan memutuskan bahwa kontribusi pencipta yang satu tidak sama dalam hal kuantitas atau kualitas, pengadilan akan menolak klaim joint authorship dan memberikan hak cipta kepada pencipta dengan kontribusi dominan. Kritik terhadap persepsi ini diajukan oleh berbagai ahli. Beberapa mencatat bahwa pengadilan melakukan penafsiran yang salah terhadap joint authorship, bahwa dalam doktrin tersebut para pencipta bersama harus menerima hak yang sama dalam sebuah karya bersama. Kemudian, kritik lain dari yakni model ini mencegah jenis kontribusi tambahan untuk diakui sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi joint authorship.

Tags:

Berita Terkait