Dosen dan Mahasiswa Boleh Membuat Produk Pornografi
Berita

Dosen dan Mahasiswa Boleh Membuat Produk Pornografi

Diatur dalam PP No. 5 Tahun 2014. Terbatas untuk tujuan pendidikan dan kesehatan. Syaratnya ketat.

MYS
Bacaan 2 Menit
Dosen dan Mahasiswa Boleh Membuat Produk Pornografi
Hukumonline
Orang perorangan yang tergabung dalam lembaga pendidikan bisa membuat dan menyebarluaskan pornografi untuk tujuan pendidikan. Sedangkan untuk tujuan kesehatan dapat dibuat oleh tenaga kesehatan atau institusi kesehatan. Di luar itu, pembuatan konten pornografi harus mendapatkan izin dari Menteri Kesehatan.

Demikian antara lain isi Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perizinan Pembuatan, Penyebarluasan, dan Penggunaan Produk Pornografi. PP ini merupakan peraturan pelaksanaan Pasal 14 UU No. 44 Tahun 2008tentang Pornografi. Dengan demikian, peraturan pelaksanaannya baru dibuat enam tahun setelah UU Pornografi lahir.

PP ini masih terbatas mengatur pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi untuk tujuan pendidikan dan kesehatan. Di lembaga pendidikan, sesuai Pasal 3, misalnya, pembuatan produk pornografi dilakukan oleh orang perseorangan ‘yang tergabung dalam lembaga pendidikan’. Siapakah yang disebut orang perseorangan? Siapa pula yang disebut ‘yang tergabung dalam lembaga pendidikan’?

Pasal 1 angka 6 menyebutkan setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Penjelasan Pasal 3 ayat (2) menyebutkan orang perseorangan yang tergabung dalam lembaga pendidikan antara lain dosen, mahasiswa, dan pustakawan.

Meskipun dosen dan mahasiswa diperbolehkan membuat produk pornografi untuk tujuan pendidikan, mereka harus memenuhi syarat. Ada empat syarat yang dicantumkan dalam Pasal 4. Pertama, harus mencantumkan peringatan batasan dan penggunaan produk pornografi. Kedua, sesuai dengan jenjang pendidikan. Ketiga, sesuai dengan bidang ilmu atau profesi. Keempat, diketahui oleh pimpinan lembaga pendidikan jika dibuat oleh orang perseorangan yang tergabung dalam lembaga pendidikan. Itu baru syarat pembuatan.

Syarat penyebarluasannya juga ada. Antara lain, penyebarluasannya hanya terbatas di lembaga pendidikan, dan sesuai dengan jenjang pendidikan, dan diketahui oleh pimpinan lembaga pendidikan. Jika produk pornografi itu dibuat, disebarluaskan atau digunakan melalui media teknologi informasi dan komunikasi, harus dipenuhi syarat yang relevan dengan hukum.

Pertama, harus memiliki mekanisme verifikasi usia. Verifikasi usia penting karena banyak pihak menduga maraknya kekerasan seksual terutama di kalangan anak-anakkarena akses terbuka terhadap konten pornografi. Kedua, memiliki fasilitas dan tata cara untuk mengamankan data/konten produk pornografi sesuai tujuan pendidikan atau kesehatan. Ketiga, memiliki fasilitas untuk pengamanan akses. Keempat, memiliki fasilitas yang mencatat semua akses yang dilakukan terhadap produk pornografi untuk tujuan pendidikan atau kesehatan. Kelima, memiliki sistem pengawasan. Dan keenam, memiliki mekanisme verifikasi jenjang pendidikan.

Untuk syarat penggunaan produk pornografi di lembaga pendidikan, syarat yang harus dipenuhi antara lain direkomendasikan oleh lembaga pendidikan, dan digunakan di tempat atau lokasi tertentu.

Persyaratan yang hampir sama berlaku pula untuk pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan kesehatan. Harus sesuai dengan kepentingan penanggulangan bahaya kesehatan masyarakat atau program pemerintah.

Pelanggaran terhadap syarat-syarat dan perizinan membawa akibat pada sanksi administrasi. Sanksi administrasi itu diberikan oleh pemberi izin. Dalam Penjelasan Umum PP disebutkan PP ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan pendidikan dan kesehatan, serta dilakukan di tempat dan dengan cara khusus sesuai peraturan tidak akan dikenakan sanksi.

Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangan, akan mengatur lebih lanjut tentang persyaratan administratif, prosedur, dan jangka waktu pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi sesuai norma setempat dan tetap mengacu pada UU No. 44 Tahun 2008.
Tags:

Berita Terkait