DPR dan Pemerintah: Korupsi adalah ExtraOrdinary Crime
Berita

DPR dan Pemerintah: Korupsi adalah ExtraOrdinary Crime

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga yang didesain khusus untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi secara komprehensif, luas dan mandiri. Tetapi keterangan wakil DPR sejalan dengan keterangan ahli yang dihadirkan pemohon.

Mys
Bacaan 2 Menit
DPR dan Pemerintah: Korupsi adalah <i>ExtraOrdinary Crime</i>
Hukumonline

 

Menurut Menkum HAM Hamid Awaluddin, ada dua hal yang mendasari pemerintah mengusulkan pembentukan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Pertama, semangat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme pasca reformasi. Kedua, adanya fakta atau kondisi dimana persepsi publik terhadap lembaga penegak hukum yang ada, kepolisian dan kejaksaan sudah losing trust. Tak ada lagi kepercayaan, tegas Hamid.

 

Itu sebabnya, pemerintah dan DPR bersepakat untuk membentuk suatu undang-undang dan lembaga yang komprehensif, kuat dan mandiri, serta tanpa ada intervensi dari kekuasaan manapun.

 

Pasal 68

Menyinggung pasal 68 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang dimohonkan judicial review, Teras Narang mengatakan bahwa pasal tersebut memang memberi wewenang kepada KPK untuk mengambil alih semua perkara korupsi yang belum selesai penyelidikan, penyidikan maupun penuntutannya di kepolisian dan kejaksaan. Jadi, menurut Teras Narang, ukurannya adalah perkara-perkara yang proses hukumnya belum selesai.

 

Namun, dalam keterangan lain yang disampaikan wakil DPR M. Akil Mochtar justru sejalan dengan keterangan ahli yang diajukan pemohon. Dalam sidang sebelumnya, ahli Prof. Indriyanto Senoaji mengatakan bahwa KPK tidak berwenang sepenuhnya mengambil alih perkara-perkara korupsi yang terjadi sebelum KPK lahir. Ada batasan waktu, yaitu 27 Desember 2002, tanggal saat mulai berlakunya UU KPK.

 

Secara kelembagaan, KPK sendiri baru terbentuk pada 27 Desember 2003. Jadi, kalaupun KPK mau mengambil alih kasus-kasus lama (asas retroaktif), maka tidak boleh lebih dari batas waktu 27 Desember 2002. Pengambilalihan itu bersifat limitatif, kata Guru Besar Universitas Krisnadwipayana itu.

Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menegaskan bahwa tindak pidana korupsi sudah masuk kategori kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Oleh karena itu penanganannya pun membutuhkan tata cara dan mekanisme yang luar biasa pula. Cara luar biasa penanganan dan pemberantasan korupsi kemudian diwujudkan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Pendekatan pemberantasan korupsi pun harus extraordinary, sehingga lembaganya pun didesain secara khusus, ujar Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, saat tampil memberi keterangan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini (11/1). Hamid hadir untuk menanggapi permohonan judicial review Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan oleh tersangka korupsi Bram Manoppo.

 

Pandangan senada disampaikan Teras Narang. Anggota Komisi III DPR ini menjelaskan bahwa berdasarkan latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, maka korupsi harus dipandang sebagai extraordinary crime. Pembentukan KPK dan pemberian wewenang yang luar biasa kepada lembaga ini justru disebabkan karena lembaga yang ada (polisi dan jaksa) belum melaksanakan tugas dan wewenang secara benar. Komisi itu harus berada pada posisi yang menjadi harapan seluruh bangsa, ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: