DPR Diminta Menata Ulang Seluruh Materi UU ITE
Utama

DPR Diminta Menata Ulang Seluruh Materi UU ITE

Tidak hanya terbatas membahas 5 pasal tertentu saja terkait kejahatan siber dan pemidanaan, tetapi merespons semua perkembangan digital. Hal terpenting pembahasan RUU ITE harus memenuhi syarat formil, partisipasi publik untuk mendapat masukan yang bermakna.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Sementara Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar mengatakan percepatan pembahasan RUU ITE menjadi sorotan. Meski revisi terbatas, dia mengingatkan pembahasan RUU ini tak boleh serampangan dan tetap harus mengedepankan kecermatan dan kehati-hatian. Publik tak ingin mengulang proses amendemen UU 11/2008 pada 2016 silam tak menjawab persoalan dalam implementasi UU ITE akibat keterbatasan pasal dalam proses perubahan.

Usul inisiatif pemerintah saat ini tak berbeda dengan 2016 karena pemerintah sejak awal keukeuh hanya merevisi pasal secara terbatas. Kita khawatir justru ini tidak menjawab masalah yang terjadi dalam konteks pelaksanaan UU ITE, tetapi malah akan menimbulkan masalah baru,” kata dia.

Misalnya, dalam Pasal 45C RUU ITE yang berpotensi hanya mengadopsi ketentuan Pasal 14 dan 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana terkait disinformasi. Rumusan Pasal 45C malah berpotensi menimbulkan pasal-pasal kolonial baru yang mudah menjerat kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Poin lain, kata Wahyudi, UU ITE sudah satu dasawarsa lebih keberlakuannya di masyarakat. Sementara perkembangan teknologi dan informasi terus bergerak cepat 10 langkah dari UU ITE yang berlaku selama ini. Dia berharap usulan pemerintah yang merevisi terbatas dapat direspons DPR dengan mendekonstruksi atau menata ulang secara menyeluruh materi muatan UU ITE agar dapat merespon perkembangan teknologi digital dan informasi.

“Semestinya, ruang amendemen bisa dijadikan medium untuk kemudian melakukan revisi dan dekonstruksi secara menyeluruh terhadap materi dari UU ini,” lanjutnya.

Termasuk membahas tentang tanggung jawab platform digital, pengaturan konten menjadi lebih baik. Begitu pula mengkaji keterkaitan sejumlah ketentuan dengan kejahatan siber. Lalu, bagaimana korelasinya dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) agar tidak menimbulkan over kriminalisasi. “Jangan nantinya malah mempersempit ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat seperti yang terjadi selama ini.”  

Partisipasi publik

Lebih lanjut, Wahyudi mengingatkan agar pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah wajib melibatkan partisipasi dan masukan publik (yang bermakna) sebagai syarat formil prosedur pembuatan UU. Dia khawatir bila mengandalkan percepatan pembahasan potensi menyingkirkan partisipasi publik yang berakibat hasil RUU ITE yang baru dengan tidak menjawab persoalan di masyarakat, tapi malah menciptakan persoalan baru.

DPR harus belajar dari proses legislasi beberapa RUU yang berlangsung cepat yang hasilnya malah menimbulkan persoalan di ujung. Seperti, proses terbitnya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Dia berharap DPR dan pemerintah membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk memberi masukan saat pembahasan RUU ITE ini.

Wahyudi mengingatkan materi muatan UU ITE tak hanya mengatur kejahatan siber dan pemidanaan semata, tapi banyak soal yang perlu dikaji mendalam satu per satu. Termasuk, apakah aturan yang bakal dirumuskan nanti dapat optimal dalam penerapannya merespons perkembangan informasi dan teknologi (digital) yang sangat pesat/cepat. “Jadi, saya pikir perlu perbaikan seluruh materi muatan dalam UU ITE.”

Tags:

Berita Terkait