Dua Pakar Hukum UGM Ini Minta MK Batalkan Putusan No.90/PUU-XXI/2023
Utama

Dua Pakar Hukum UGM Ini Minta MK Batalkan Putusan No.90/PUU-XXI/2023

Pemohon meminta MK mengadili dan memutus perkara dengan menggunakan pendekatan hukum progresif. Sebab, konsep hukum yang terlalu positivistik dinilai tidak mampu mewujudkan keadilan substantif. Pemohon juga meminta MK memerintahkan KPU mencoret Paslon Prabowo-Gibran atau mencari calon pengganti.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Polemik putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden (Capres-Cawapres) yakni berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, nampaknya belum berakhir. Sebab, dua pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yakni Prof Denny Indrayana dan Dr. Zainal Arifin Mochtar ternyata masih mempersoalkan Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu lewat pengujian formil pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Dalam permohonan yang teregistrasi No.145/PUU-XXI/2023 ini, pemohon meminta MK mengadili dan memutus perkara dengan menggunakan pendekatan hukum progresif. Sebab, konsep hukum yang terlalu positivistik dinilai tidak mampu mewujudkan keadilan substantif. 

Petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan pembentukan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai MK dalam putusan No.90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil berdasarkan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Para pemohon juga meminta MK memerintahkan penyelenggara pemilu (KPU) untuk mencoret peserta pemilu yang mengajukan pendaftaran berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai MK dalam putusan No.90/PUU-XXI/2023 karena telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau menetapkan agenda tambahan khusus bagi peserta pemilu yang terdampak untuk mengajukan calon pengganti dalam rangka melaksanakan putusan MK ini dengan tidak menunda pelaksanaan Pemilu 2024.

Baca Juga

Lalu, dalam tuntutan provisinya, para pemohon meminta MK menunda berlakunya penerapan Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Menangguhkan tindakan/kebijakan yang berkaitan dengan Pasal 169 q UU Pemilu. Memeriksa permohonan secara cepat dengan tidak meminta keterangan MPR, DPR, Presiden, DPD atau pihak terkait lainnya. Selain itu, memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan ini dengan mengecualikan Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Para pemohon menilai norma Pasal 169 huruf q yang telah dimaknai MK melalui putusan No.90/PUU-XXI/2023 tidak memenuhi syarat formil karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), (2), (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman. Hal ini dinilai berdampak buruk terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia dimana akan menyisakan noda sejarah bahwa terdapat salah seorang calon wakil presiden yang bermasalah etis dan tak kunjung diselesaikan.

Tags:

Berita Terkait