Dua Pasal “Kritis” dalam RPP Turunan UU Jaminan Produk Halal
Berita

Dua Pasal “Kritis” dalam RPP Turunan UU Jaminan Produk Halal

Pasal-pasal tersebut perlu pendalaman, mulai dari penegasan tiap produk wajib bersertifikat halal hingga terkait obat yang jika tak dikonsumei akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa pasien.

RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi turunan dari UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Penyusunan sudah memasuki tahap pembahasan lintas kementerian dan lembaga (K/L) terkait.

 

Sejumlah perwakilan dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan lembaga lainnya menggelar rapat membahas RPP ini di gedung Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, Jumat (2/2).

 

Staf Khusus Wapres Jusuf Kalla, Bambang Wijayanto berharap, RPP ini sebelum menjadi PP, harus bersih dari berbagai persoalan, baik teknis maupun substansi. Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kemenag Nur Syam mengatakan kalau RPP atas pelaksanaan UU Jaminan Produk Halalini telah melalui perdebatan yang cukup panjang.

 

Dari sisi Kemenag, ada 2 Pasal RPP yang masih membutuhkan pendalaman, yakni terkait Pasal 2 yang menegaskan agar setiap produk wajib bersertifikat halal. “Karena situasi, apakah ini akan dilaksanakan secara bertahap atau tidak,” kata Nur Syam sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenag

 

Aturan lainnya yang perlu didalami adalah Pasal 71 yang berkaitan dengan Kementerian Kesehatan. Yaitu, tentang obat yang jika tidak dikonsumsi akan berakibat pada keselamatan jiwa pasien. “Apakah harus dikecualikan dari sertifikasi halal atau tidak,” tambah Nur Syam.

 

Kepala Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso mengaku pihaknya terus bersiap dalam implementasi pelaksanaan jaminan produk halal. Saat ini, BPJPH telah  melakukan kerja sama dengan MUI yang mempunyai sekitar 1.500 auditor halal. Selain itu, BPJPH juga menjalin kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi yang berkompeten.

 

Sejumlah pasal pada rapat ini masih dalam pembahasan yang cukup alot. Rapat lanjutan akan segera digelar agar memperoleh kesepahaman bersama terkat RPP yang akan menjadi pedoman operasional pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal.

 

Baca:

 

Sementara itu, Departemen Perdagangan Amerika ingin menjajaki kerja sama dengan Kementerian Agama di bidang sertifikasi halal. Hal ini diungkapkan oleh Wakil Asisten Sekretaris Departemen Perdagangan Amerika Serikat untuk wilayah Asia Diane Farrell ketika berkunjung ke kantor Kemenag.

 

Diane Farrel diterima oleh Sekjen Kementerian Agama Nur Syam, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso beserta jajarannya. Diane mempertanyakan kapan mulai diberlakukannya sertifikasi halal oleh BPJPH, karena pihaknya ingin memastikan bahwa produk-produk Amerika telah sesuai dengan standar sesuai dengan undang-undang yang berlaku ketika proses sertifikasi halal sudah resmi dilakukan oleh BPJPH.

 

Menanggapi hal ini, Kepala BPJPH menyatakan bahwa BPJPH akan resmi beroperasi pada 17 Oktober 2019 mendatang, hal ini disebabkan Perpres JPH yang belum ditandatangani oleh Presiden, sehingga BPJPH belum dapat mengimplementasikan UU No. 33 Tahun 2014. Sukoso menjelaskan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan tahap-tahap sertifikasi halal serta sistem teknologi informasi yang mendukung sertifikasi halal.

 

Ia juga mengatakan bahwa pihaknya tengah gencar memperkenalkan BPJPH kepada para stakeholder dan menyusun rencana nota kesepahaman (MoU) dengan negara-negara yang memasarkan produknya di Indonesia.

 

"MoU dengan negara-negara lain sangat diperlukan, karena sistem dan standar kehalalan suatu produk di suatu negara terkadang berbeda dengan sistem dan standar halal yang diterapkan di Indonesia," jelas Sukoso.

 

Sukoso juga menjelaskan bahwa selain pencantuman label halal, untuk produk non halal juga wajib mencantumkan label non halal, hal ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen. Menurutnya, jika label non halal tidak tercantum pada kemasan produk, hal ini akan membuat konsumen bingung, karena tidak semua konsumen mengerti istilah-istilah yang tercantum dalam komposisi suatu produk.

 

Ketika ditanyakan mengenai kisaran biaya untuk mengurus sertifikasi halal, Sukoso menjelaskan bahwa saat ini pihaknya masih menyusun Peraturan Menteri Agama (PMA) yang akan mengatur prosedur sertifikasi halal.

 

Dalam kesempatan tersebut, Nur Syam menyarankan agar pihak AS sudah mulai mengidentifikasi produk-produknya agar dapat didaftarkan untuk memperoleh sertifikasi halal pada tahun 2019 mendatang dan mulai menyiapkan poin-poin yang akan dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU).

 

"Kita masih punya waktu satu tahun karena pada 17 Oktober 2019 mendatang semua produk yang masuk ke Indonesia harus memperoleh sertifikat halal," tutup Nur Syam.

Tags:

Berita Terkait