Dua Pihak Ini Dinilai Kerap Melakukan SLAPP
Utama

Dua Pihak Ini Dinilai Kerap Melakukan SLAPP

Pelaku usaha yang merasa terganggu oleh kegiatan peran serta masyarakat dan pejabat pemerintah karena tidak ingin kewenangannya diganggu oleh peran serta masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi. Hol
Ilustrasi. Hol

Konstitusi atau UUD Tahun 1945 menjamin setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Tapi untuk mewujudkan mandat konstitusi itu tidak mudah karena tidak sedikit masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat harus menghadapi intimidasi, bahkan tuntutan pidana atau gugatan perdata.

Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) RI sekaligus Pokja Lingkungan Hidup Nasional, Prof Takdir Rahmadi, mengatakan gugatan perdata atau tuntutan pidana terhadap orang yang melakukan kegiatan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan pemerintahan/pengelolaan lingkungan hidup disebut dengan istilah Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP).

Tujuan SLAPP untuk memberi rasa takut karena potensi digugat atau dituntut pidana serta biaya keuangan kepada orang yang melaksanakan kegiatan peran serta masyarakat yang ujungnya mematikan peran serta masyarakat. “Praktik SLAPP ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat,” kata Takdir dalam webinar bertema “Urgensi Penerapan Anti SLAPP dalam Penanganan Perkara Lingkungan Hidup di Indonesia, Jumat (23/4/2021). (Baca Juga: Peraturan Anti-SLAPP Penting bagi Pejuang Lingkungan Hidup)

Takdir menyebutkan ada 2 pihak yang kerap menggunakan SLAPP. Pertama, pelaku usaha yang merasa terganggu oleh kegiatan peran serta masyarakat. Pelaku usaha pada umumnya bekerja sesuai dengan prinsip yakni modal sekecil-kecilnya meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Misalnya, berbagai persyaratan pengelolaan lingkungan hidup dianggap sebagai beban/biaya usaha tambahan selain biaya modal dan upah buruh, sehingga dianggap pelaku usaha mengurangi keuntungan. 

Dia melanjutkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup sering terjadi pada masa yang akan datang, sehingga pelaku usaha tidak merasa perlu mempertimbangkan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup rumit karena berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan masyarakat. “Pelaku usaha tidak merasakan dampak negatif dari kegiatan usaha yang dilakukannya karena mereka tidak menetap di lokasi tersebut.”

Kedua, pejabat pemerintah juga berpotensi sebagai pihak yang melakukan SLAPP. Menurut Takdir, hal ini karena pejabat tersebut tidak ingin kewenangannya diganggu oleh peran serta masyarakat.

Rentan terkena SLAPP

Takdir juga mencatat sedikitnya ada 7 bentuk peran masyarakat yang rentan terkena SLAPP. Pertama, melakukan dan menggerakan demonstrasi menentang rencana kegiatan atau usaha. Kedua, mengirim surat ke berbagai instansi pemerintah bahwa rencana kegaitan tertentu tidak mematuhi peraturan. Misalnya, kegiatan usaha tersebut wajib amdal, tapi pejabat pemberi izin tidak mewajibkan amdal. Ketiga, menyatakan pendapat secara lisan atau tulisan tentang penolakan terhadap rencana kegiatan usaha yang berlangsung.

Keempat, melaporkan kepada instansi yang berwenang bahwa terjadi perubahan kualitas lingkungan hidup sejak suatu kegiatan usaha itu berjalan. Kelima, menjadi saksi atau ahli dalam persidangan. Keenam, menggugat ke pengadilan terhadap suatu kegiatan usaha. Ketujuh, menjadi anggota komisi amdal.

Kendati demikian, Takdir mengingatkan ada sejumlah ketentuan mengatur tentang anti SLAPP. Anti SLAPP adalah upaya hukum atau pembelaan diri atau jaminan perlindungan hukum terhadap orang/warga yang melaksanakan hak peran serta dalam pengambilan keputusan pemerintahan/pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan yang mengatur anti SLAPP antara lain Pasal 28H UUD RI 1945, Pasal 65 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UU No.32 Tahun 2009, Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No.14 Tahun 2008 serta Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Upaya yang dilakukan MA RI terkait anti SLAPP, misalnya melakukan sertifikasi terhadap hakim yang menangani perkara lingkungan hidup sejak 2011. Kemudian menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan hakim peradilan umum, TUN, dan militer, sehingga hakim dalam mengadili perkara lingkungan hidup mampu menerapkan keadilan lingkungan hidup termasuk menerapkan putusan yang pro anti SLAPP.

Memperkuat partisipasi publik

Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, mengatakan negara berkomitmen memperkuat partisipasi publik dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta penegakan hukum. Hal ini tertuang dalam beberapa ketentuan, seperti Pasal 70 UU No.32 Tahun 2009 mengatur masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat bentuknya pengawasan sosial; pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan.

Pasal 76 ayat (1) UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebut setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, wajib diberi pelindungan khusus oleh pemerintah. Selanjutnya, Pasal 78 ayat (1) UU No.18 Tahun 2013 mengatur pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Ridho mengatakan penanganan kejahatan lingkungan hidup ini sifatnya dinamis dan perlu melibatkan banyak lembaga. Karena itu, ekosistem penegakan hukum dan inovasi harus diperkuat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yakni memperkuat SDM aparat penegak hukum agar profesional, responsif, dan inovatif. Hal lain yang harus diperkuat yakni tata kelola dan kelembagaan.

“Kita perlu membuat ekosistem penegakan hukum dan inovasi, ini perlu keterlibatan semua lembaga,” kata dia.

Terkait penerapan Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009, Ridho mengatakan draft Peraturan Menteri masih dalam kajian apakah bentuknya akan ditingkatkan menjadi PP atau lainnya. Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 menyebutkan “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Tags:

Berita Terkait