Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, badan usaha tetap dapat melakukan kegiatan usaha dengan tetap berada di bawah tanggung jawab dan pengawasan pemerintah. Salah satunya sektor minyak dan gas seperti diatur UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas).
“Ini saya sebut kontrak konsesi, hal ini sudah ada sejak awal dan dimandatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Tri Hayati dalam Forum Hukum Hulu Migas 2023 di Yogyakarta, Rabu (11/10/2023) kemarin.
Baca Juga:
- Pasca UU Cipta Kerja Terjadi Perubahan terhadap Aspek Pertanahan
- PPS, Fungsi Kejaksaan Cegah Ancaman Pembangunan Strategis
- Tantangan Pasal Global terhadap Industri Minyak dan Gas
Ia mengatakan pemberlakuan kontrak konsesi ini dimaksudkan agar memberi kepastian bagi 3 stakeholder di dalamnya. Bagi pemerintah, kata dia, memperoleh kepastian atas kegiatan yang dilakukan selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pemerintah tetap melakukan pengawasan terhadap kewajiban yang tertuang dalam kontrak dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Guru Besar FHUI Prof. Tri Hayati.
Bagi masyarakat, dapat terlindungi hak-haknya atas kewajiban perusahaan yang dituangkan melalui kontrak. Sedangkan bagi perusahaan, mendapatkan kepastian dalam berusaha bagi kontraktor dengan hak-hak dalam kontrak dan harus dipenuhi oleh pemerintah.
“Merujuk pada pendapat Ten Berge, bentuk konsesi mengakomodir kepentingan 3 pihak dalam kontrak dan telah melalui proses dan prosedur selayaknya sebuat kontrak konsesi. Seharusnya ketiga pihak itu mematuhi dan menghormati kontrak konsesi yang telah dibuat. Disinilah muncul keberlakuan asas Pacta Sunt Servanda,” ungkap Prof Tri.
Ia menilai saat ini telah banyak Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri yang mengatur sejumlah kewajiban dalam hal pengelolaan minyak dan gas (migas). Hingga terkadang menurutnya asas Pacta Sunt Servanda dalam kontrak justru seolah-olah menjadi bayang-bayang semata.