Fauzie Yusuf Hasibuan: Pancasila dan Anti-Pancasila
Berita

Fauzie Yusuf Hasibuan: Pancasila dan Anti-Pancasila

Perilaku menyimpang yang berkelindan pada persoalan bangsa mengancam nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara yang telah disepakati sebagai perekat NKRI.

CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Ketua DPN Peradi, Fauzie Yusuf Hasibuan. Foto: istimewa.
Ketua DPN Peradi, Fauzie Yusuf Hasibuan. Foto: istimewa.

Saat pembentukan Pancasila di Indonesia, secara demograsi umat Islam mencapai 90%. Namun, dengan pertimbangan bahwa Indonesia merupakan hamparan kepulauan luas yang didiami oleh ragam etnik dan kepercayaan dari Sabang sampai Merauke, usulan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tidak didasarkan pada satu agama.

 

Pada rapat panitia (18 Agustus 1945), Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) memutuskan untuk mengubah sila pertama dari Piagam Jakarta, yaitu di bagian ‘menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’, menjadi ‘Ketuhanan yang Maha Esa’. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kemudian menetapkan ideologi negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan mengangkat presiden Republik Indonesia pertama dalam keputusan.

 

Memang perdebatan sengit dan panjang yang terjadi saat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah berlalu. Itulah fakta bahwa penetapan Pancasila sebagai dasar negara dimaknai sebagai representasi keberhasilan rakyat Indonesia melewati periode perdebatan para tokoh yang mulanya tidak setuju, pada akhirnya bertoleransi menerima perubahan. Hal ini juga merupakan sebuah kenyataan sejarah yang menunjukkan, tokoh-tokoh dan umat Islam telah legowo menerima perubahan, memaknai fakta toleransi kepada umat non-Muslim sehingga Pancasila dijadikan landasan serta perekat bangsa dan NKRI.

 

Sejarah menunjukkan Pancasila adalah gatra penuh nilai-nilai kebaikan yang luhur sebagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang digali dan terpendam lama di dalam masyarakat Indonesia. Hal itulah yang menjadikan Pancasila sebagai star light atau penyinar seluruh tatanan kehidupan bernegara.

 

Demikianlah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini sedang melakukan manuver untuk membangun kekuatan ekonomi dengan dana terbatas. Namun, apa yang sedang terjadi?

 

Salah satu yang dapat diidentifikasi sebagai program Presiden Jokowi yaitu, pembangunan peradaban bangsa dengan menghubungkan gugusan pulau melalui pembangunan jalan di berbagai daerah untuk memudahkan pergerakan dan perpindahan barang dan manusia. Sayangnya, perkembangan dan perubahan masyarakat kita sangat cepat. Globalisasi yang tidak membatasi negara, serta pengaruh kapitalisme yang mengandalkan kekuatan materialistik, individualistik dengan gampang mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Pergesekan dan perubahan nilai ini cenderung mendorong orang mengabaikan nilai–nilai kebaikan Pancasila serta merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia.

 

Namun, apa dan bagaimanapun keadaannya, ‘negara harus tampil’. Negara tidak bisa begitu saja melepaskan pertarungan ekonomi pasar bebas dan perebutan pengaruh untuk menjadi leader di wilayah masyarakat ekonomi ASEAN dengan dalih persaingan pasar. Pergerakan materialism state mendesak pengambil kebijakan mengubah cara berpikir dan akhirnya selalu meninggalkan kepentingan rakyat, misalnya, kontroversi proyek Giant Sea Wall atau NCICD. Rencana pekerjaan reklamasi 17 pulau buatan dan eksploitasi sumber daya alam maupun lingkungan di ibu kota Jakarta sangat mementingkan alasan ekonomi. Orientasi ekonomi yang cenderung mendewakan negara Tiongkok, sedang didakwa sebagai tindakan yang melemahkan nilai Pancasila dan kebangsaan Indonesia. Kerjasama bilateral Indonesia dan  yang diperkirakan kompetitif dan dinamis, seperti CAFTA (China ASEAN Free Trade Area), secara langsung melemahkan pengusaha Indonesia untuk bersaing dengan produk Tiongkok yang membanjiri pasar di Indonesia. Jika tidak ingin melihat pengusaha lokal gulung tikar, negara haruslah hadir membenahi.   

 

Sebagaimana ditulis oleh Agus Budiarta (25 Juni 2015), data yang diperoleh dari LIPI menunjukkan, ada 86% mahasiswa di lima perguruan tinggi termuka Pulau Jawa yang menolak Pancasila (Kedaulatan Rakyat, 10 September 2012). Fakta lain di lapangan, di sebelas kota yang disinggahinya dalam rangka penegakan Pancasila, Liberius Langsinus, sang penjelajah Nusantara merasa prihatin akan kepunahan nilai-nilai Pancasila di kalangan generasi muda (Kompas, 10 September 2012). Dari data tersebut timbul pertanyaan besar mengapa orang muda kita mulai banyak meninggalkan Pancasila? Pertanyaan ini perlu dijawab oleh seluruh komponen bangsa, sebab, melimpahkan kesalahan pada generasi saat ini tidaklah tepat. Berbagai persoalan silih berganti menimpa negeri ini yang tidak cepat disadari. Kita terlena dengan hal-hal yang tidak subtansial, saling tuduh dan salah. Padahal, kehidupan yang merongrong nilai Pancasila semakin tidak perduli dan terus saja menggerogoti kehidupan rakyat dengan cara sadar melakukan korupsi seenaknya  di negara ini.

 

Coba lihat betapa rusaknya nilai Pancasila dari uraian di bawah ini:

 

Hemat saya, situasi berat yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, tetap terkait pada persoalan Pancasila. Perilaku menyimpang yang berkelindan pada persoalan bangsa mengancam nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara yang telah disepakati sebagai perekat NKRI. Apalagi, hal ini juga harus berhadapan dengan kiprah perilaku dari elite organ-organ negara yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, baik di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Situasi ini dengan sadar memaparkan, watak oportunis yang ada di lembaga negara menjadi faktor terkikisnya nilai-nilai Pancasila. Praktik materialism state, aturan yang membuat negara yang tidak berpihak kepada kesulitan rakyat, kenaikan barang dipasar yang tidak dapat dikendalikan negara, hingga sifat hidup berfoya-foya dengan gaya hidup high class menimbulkan rasa iri hati yang cepat meluas.

 

Ada 18 Gubernur dan 343 Bupati/Wali Kota yang telah diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjerat kasus korupsi (Kompas.com,  3 Agustus 2016). Dari data Dirjen Otonomi Daerah (Otdah) Kemendagri dari tahun 2005 hingga Agustus 2014 terdapat 3109 anggota DPRD/daerah/kabupaten atau kota terlibat korupsi. Belum lagi sederetan aparat penegak hukum yang jumlahnya tidak kalah banyak telah menganggap bahwa profesi yang mereka lakukan sebagai profite driven industri. ICW mencatat pada semester awal 2016 terdapat 755 kasus korupsi mangkrak di lembaga penegak hukum. Mahkamah Agung pun memaparkan jumlah perkara korupsi di lembaga peradilan sepanjang 2016, ada 453 kasus sebagai skor pada urutan kedua setelah kasus narkotika ada 800 kasus sebagai urutan pertama. Dari data tersebut disimpulkan kecenderungan korup dan oportunis merupakan fenomena atau gejala masyarakat yang identik sebagai gaya hidup anti-Pancasila karena nilai-nilai kejujuran, nilai amanah sebagai dasar penyelenggara negara yang seharusnya dipraktikkan dalam penyelenggaraan negara tidak berhasil diterapkan. Adakah kecenderungan hal ini disebabkan karena sistem rekrutmen kepala daerah, anggota DPR/DPRD, dan para penegak hukum telah salah kaprah karena terindikasi sangat libral dan tidak sesuai dengan Pancasila?

 

Berbagai latar belakang dan motif juga telah memunculkan sebuah gerakan dengan instrumen terorisme melalui cara-cara ancaman, kekerasan fisik, penyeludupan alat senjata, serta teror. Targetnya adalah menciptakan ketakutan yang meluas di masyarakat. Gerakan anti-Pancasila yang satu ini telah menodai nilai-nilai ajaran agama karena dilakukan dengan cara keji dan teror kepada masyarakat. Lihatlah secara berurutan kasus tahanan di markas Brimob Depok justru terjadi menjelang bulan suci Ramadan, kemudian teror bunuh diri melakukan pemboman gereja di Surabaya. Hasilnya hanya korban dan duka bagi mereka yang tidak berdosa. Ancaman terorisme berpotensi menjadi momok bagi peradaban modern. Tindakan pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dan dicapai target, serta metode terorisme semakin luas dan bervariasi sehingga teror adalah kejahatan terhadap kedamaian dan keamanan umat manusia, yang dikatagorikan sebagai kejahatan luar biasa. Tindakan terorisme juga sebagai sebuah kekuatan yang tidak menerapkan nilai-nilai Pancasila.

 

Implikasi dan gesekan tajam antarmasyarakat, kelompok, dan partai politik yang ditimbulkan sebagai akibat pilkada di berbagai daerah telah menghabiskan waktu yang sia-sia, sehingga Presiden Joko Widodo berharap kegaduhan yang terjadi belakangan ini bisa berakhir setelah pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Harapan itu bukan hanya tertumpu untuk Jakarta, melainkan 100 daerah peserta pilkada serentak lainnya. “Saya harapkan semua bisa kembali setelah pilkada ini sebagai saudara semua menjaga persatuan dan kesatuan kita,” ujar Jokowi di Gambir, Rabu (15 Februari 2017).

 

Fakta gesekan tajam terjadi hanya dikarenakan pemilihan seorang Gubernur DKI telah membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila belum terserap dan terefleksi dalam prilaku bermasyarakat dan bernegara. Agaknya kita perlu memikirkan cara elegan memberi peran maksimal sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai Pancasila. Sulit untuk dipahami terdapat gugus kelompok-kelompok di Jakarta membentuk aliansi perorangan dan mendeklarasikan sebagai penyelamat bangsa dan Pancasila tanpa memedulikan perasaan orang lain, seolah-olah berhadapan dengan Anti-Pancasila. Sebuah kekeliruan berpikir telah terjadi dari anggapan yang semu.

 

Sebenarnya siapakah musuh Pancasila yang sebenarnya? Mereka-mereka yang berperilaku senang melanggar nilai-nilai Pancasila yang mengandung sikap kejujuran dan kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Mari kita pertahankan Pancasila!

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Tags:

Berita Terkait