Penarikan Produk Ajinomoto
Konsumen Belum Terlindungi
Fokus

Penarikan Produk Ajinomoto
Konsumen Belum Terlindungi

"Cup…cup… Ajinomoto, to..to..to." Ungkapan Mandra dalam iklan Ajinomoto agaknya untuk sementara tidak nongol di TV lagi. Sang bintang iklan geram, tapi lebih banyak lagi konsumen yang kecewa dan merasa tertipu. Pasalnya, penyedap rasa Ajinomoto dinyatakan haram. Di manakah perlindungan konsumen ditempatkan dalam kasus ini?

ABa/APr
Bacaan 2 Menit
<font size='1' color='#FF0000'><b>Penarikan Produk Ajinomoto</b></font><BR>Konsumen Belum Terlindungi
Hukumonline

Betapa terhenyak kita tatkala mendengar fatwa Majelis Ulama Indonesia  (MUI) yang menyatakan penyedap rasa (monosodium glutamat/MSG) Ajinomoto haram. Terlebih lagi ketika diketahui produk yang dinyatakan haram itu sudah beredar di masyarakat selama enam bulan.

Kesimpulan MUI beberapa waktu lalu itu sendiri diperoleh setelah pihak Ajinomoto melakukan penggantian bahan penolong pengembangbiak kultur bakteri pada bumbu masak produksinya yang diduga mengandung unsur porcine (enzim babi). Dari yang sebelumnya menggunakan polypepton diganti dengan bactosoytone dengan alasan pengiritan.

Pihak Ajinomoto sendiri berpendapat, produk akhir MSG Ajinomoto tidak mengandung unsur porcine. Menurut mereka, unsur porcine seperti yang disinyalir MUI terdapat pada bactosoytone yang digunakan untuk mengembangbiakkan bakteri yang digunakan dalam proses fermentasi tetes tebu.

Namun demikian, fatwa MUI pun akhirnya memaksa PT Ajinomoto Indonesia menyatakan permohonan maaf serta menarik produk MSG Ajinomoto dari pasaran Indonesia dan Singapura. Ajinomoto membeli kembali produknya yang diperkirakan mencapai 2.000 hingga 3.000 ton.

Tentu ada beberapa permasalahan yang dapat diangkat dari kasus ini. Pertama, apabila benar-benar terdapat unsur enzim babi dalam produk MSG Ajinomoto, bagaimana tindakan pelaku usaha, dalam hal ini PT Ajinomoto Indonesia, ditinjau dari Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)? Dapatkah dikenakan sanksi keras atau cukup hanya dengan permohonan maaf dan penarikan produk dari pasar.

Kedua, apakah penarikan produk MSG Ajinomoto dari pasaran itu dapat menghilangkan kekhawatiran masyarakat, baik masyarakat konsumen maupun masyarakat yang turut menjual produk Ajinomoto? Masalahnya, kekhawatiran itu sangat erat kaitannya dengan kerugian mental spiritual yang diderita masyarakat. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ganti rugi materiel mampu menutupi kerugian material spiritual yang telah diderita konsumen?

Kekhawatiran akan tidak adanya perlindungan terhadap konsumen pun menimbulkan reaksi masyarakat konsumen yang semakin membesar akhir-akhir ini. Pernyataan sikap mengecam produk Ajinomoto terus mengalir. Begitu pun dengan reaksi masyarakat penjual yang resah tidak mendapatkan ganti rugi (materiel) atas barang yang dimilikinya jika harus ditarik dari peredaran.

Halaman Selanjutnya:
Tags: