Menetapkan Standar Baru Force Majeure dalam Perjanjian Sewa Pesawat
Kolom

Menetapkan Standar Baru Force Majeure dalam Perjanjian Sewa Pesawat

Sudah waktunya untuk meyakinkan para pemberi sewa pesawat di seluruh dunia untuk mulai menghapuskan klausa hell or high water dan turunan semacamnya.

Bacaan 5 Menit
Kolase Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Anggia Rukmasari (kanan). Foto: Istimewa
Kolase Ridha Aditya Nugraha (kiri) dan Anggia Rukmasari (kanan). Foto: Istimewa

Mayoritas maskapai dalam industri penerbangan lebih memilih untuk menyewa (lease) pesawat daripada membeli. Hal ini lumrah mengingat industri penerbangan tidak murah. Sayangnya, dalam dua tahun belakangan, industri penerbangan – baik domestik maupun internasional – menjadi salah satu sektor paling terpukul akibat pandemi Covid-19. Stabilitas keuangan maskapai seantero dunia terguncang. Sebagian besar terpaksa mengurangi frekuensi penerbangan, sebagian lain berhenti beroperasi, dan sisanya berada di ambang pintu kebangkrutan.

Garuda Indonesia selaku maskapai penerbangan nasional sekaligus pembawa bendera Indonesia (flag carrier) tidak luput dari derita ini – layaknya maskapai-maskapai swasta lain. Biaya sewa pesawat menyebabkan akumulasi utang yang signifikan, ditambah dengan berkurangnya pemasukan dan jumlah penumpang, perpajakan, retribusi, biaya jasa penerbangan, serta pengeluaran lain sebagaimana semakin membebani maskapai. Hingga saat ini, situasi keuangan Garuda berada pada titik paling rendah sepanjang sejarah, menunggu untuk diselamatkan atau skenario terburuk dinyatakan pailit.

Terakhir, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Garuda Indonesia masuk dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sementara. PT Mitra Buana Korporindo, suatu perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi, mengajukan gugatan kepada Garuda Indonesia dengan nomor perkara 425/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Jkt.Pst pada 22 Oktober 2021. Kini Garuda Indonesia memiliki waktu 45 hari untuk mengajukan proposal perdamaian terkait restrukturisasi kewajiban usaha terhadap kreditur.

Hal serupa terjadi pada banyak maskapai sedunia. Industri penerbangan belajar banyak dari pandemi dua tahun belakangan ini. Berbagai rintangan yang melanda para pemangku kepentingan dalam waktu yang relatif singkat dipercaya akan membantu industri penerbangan untuk menjadi lebih tangguh di masa depan. Perspektif hukum menguraikan pelajaran yang dapat dipetik ialah urgensi mengkaji ulang standar perjanjian sewa komersial sebagaimana umumnya disepakati oleh maskapai Indonesia dan pemberi sewanya.

Salah satu cara melepaskan diri dari krisis keuangan ini ialah dengan memanfaatkan klausa force majeure atau keadaan kahar dalam kontrak. Hal tersebut lumrah terjadi pada industri umum. Namun, sejauh menyangkut industri penerbangan, konsep keadaan kahar hampir tidak pernah – atau bahkan sama sekali tidak pernah – digunakan dalam perjanjian.

Hal ini berkaca kepada praktik umum yang memasukkan klausa hell and high water ke dalam perjanjian sewa pesawat. Klausa tersebut mewajibkan adanya pembayaran rutin atau terus menerus oleh penyewa tanpa mempertimbangkan kesulitan yang mungkin dihadapi maskapai penerbangan seiring perkembangan sewaktu-waktu, tidak terkecuali pandemi ini.

Force majeure (terminologi Bahasa Prancis yang berarti kekuatan superior) adalah suatu ketentuan yang mendefinisikan suatu tindakan, kejadian atau keadaan tertentu yang berada di luar kendali para pihak dalam perjanjian, yang mana dalam hal tersebut para pihak dapat untuk tidak melaksanakan kewajiban termuat dalam kontrak.

Meskipun klausa seperti itu nampaknya sangat wajar untuk dimasukkan ke dalam suatu perjanjian jangka panjang dan bernilai tinggi, ketentuan tersebut amat jarang ditemukan dalam suatu perjanjian sewa pesawat komersial. Bahkan apabila ketentuan tersebut telah dimasukkan dalam perjanjian, penyusunan kata-kata yang membentuk klausul tersebut juga penting. Adagium the devil is in the detail berlaku.

Force majeure selalu dikaitkan dengan tindakan Tuhan (Act of God), atau dengan kata lain tindakan Tuhan dianggap sebagai bagian dari ketentuan force majeure itu sendiri. Tindakan Tuhan merupakan suatu istilah hukum yang dapat membebaskan pelaksanaan suatu kewajiban dalam kontrak, dan berlaku ketika bencana alam seperti banjir, gempa bumi, atau tornado yang begitu parah, sehingga akibatnya tidak dapat dicegah atau dihindari dengan kehati-hatian atau perkiraan yang wajar, sehingga pelaksanaan perjanjian menjadi tidak dimungkinkan. Bencana alam yang melibatkan intervensi manusia kemungkinan besar tidak berlaku untuk klausa ini.

Kini, timbul pertanyaan substansial terkait apakah pandemi ini merupakan bagian dari klausa force majeure atau tidak. Polemik tersebut dilanjutkan dengan menentukan apakah tindakan Pemerintah yang melarang warga negaranya untuk bepergian atau melarang maskapai untuk menerbangi rute tertentu, baik domestik maupun internasional, dapat diklasifikasikan sebagai tindakan Tuhan, dan dengan demikian merupakan bagian dari klausa force majeure, sehingga membebaskan suatu pihak dari kewajiban kontraktualnya.

Jawaban atas pertanyaan di atas akan beragam, tergantung bagaimana penyusunan kata-kata dalam klausa force majeure itu sendiri. Asumsi otomatis atau tersirat atas force majeure tidak diperbolehkan, sehingga hampir tidak mungkin bagi pengadilan untuk secara tersirat menyimpulkan adanya force majeure dalam suatu perjanjian sewa pesawat apabila para pihak terkait tidak pernah menyepakati keberadaan klausa tersebut.

Dengan mencermati hal-hal di atas, pelajaran pertama yang dapat diambil dari pandemi ini adalah penyusunan suatu klausa force majeure yang jelas, komprehensif, dan terinci dalam perjanjian sewa pesawat merupakan sesuatu yang mutlak dan wajib dilakukan. Hingga saat ini klausa tersebut dalam perjanjian sewa pesawat jarang ditemukan. Pandemi ini telah mengajarkan dan mendorong semua pemangku kepentingan di industri penerbangan, baik secara nasional maupun global, untuk mulai mendetailkan klausa force majeure dalam setiap perjanjian sewanya.

Berbicara spesifik bisnis sewa pesawat, klausa hell or high water memaksa penyewa atau maskapai untuk membayar biaya sewa kepada pemberi sewa terlepas dari keadaan tidak terduga yang mungkin dapat mempengaruhi operasional penyewa. Adanya klausa ini dalam perjanjian sewa akan membatalkan ketentuan force majeure dalam perjanjian yang sama.

Praktik penggunaan klausa ini yang telah lama berjalan (best practices) menjadikan seolah-olah klausa ini sebagai ketentuan yang wajib hadir serta tidak dapat diganggu gugat pihak maskapai ketika bernegosiasi dengan pemberi pinjaman – umumnya para perusahaan penyewa pesawat (aircraft lessor).

Pandemi ini menghadirkan pelajaran berharga bahwa sudah waktunya untuk meyakinkan para pemberi sewa pesawat di seluruh dunia untuk mulai menghapuskan klausa hell or high water dan turunan semacamnya. Status quo akan klausa tersebut serta absennya klausa force majeure dalam suatu perjanjian sewa pesawat berpotensi menghambat pertumbuhan industri penerbangan pada masa mendatang. Setiap negara seyogianya akan mencoba untuk menemukan solusinya masing-masing demi menyelamatkan maskapai nasionalnya, serta tidak lagi menghiraukan persyaratan berat pemberi sewa.

Sebelum pandemi, International Air Transportation Association (IATA) memperkirakan Indonesia akan menjadi pasar perjalanan udara terbesar keempat di dunia pada 2039. Situasi ini bergantung pada penerbangan domestik yang masif, sementara nasib penerbangan internasional bergantung pada kebijakan perbatasan dan penerbangan negara tujuan pasca-pandemi.

Seandainya seluruh maskapai nasional dapat bersatu guna memformulasikan - tepatnya menghilangkan atau merevisi - klausul hell or high water untuk masa depan, rakyat Indonesia jelas akan diuntungkan. Secara realistis, langkah tersebut dapat ditempuh melalui forum Indonesian National Air Carrier Association (INACA). Sayangnya Dewan Penerbangan Nasional (DEPANRI) selaku forum terideal yang dapat menjembatani antar kementerian hingga swasta telah dibubarkan pada 2014.

Akhir kata, asa industri penerbangan Indonesia bangkit selalu ada. Pertanyaannya ialah dengan pengorbanan dan biaya sebesar apa. Memerangi korupsi dengan menekankan tata kelola perusahaan (good corporate governance) yang baik, yang mencakup perspektif hukum udara serta ekonomi transportasi udara, menjadi suatu urgensi.

Terkait Garuda Indonesia selaku flag carrier dan perusahaan terbuka, seyogianya publik memperoleh akses lebih dalam mengawasi kontrak baru flag carrier dengan pemberi sewa pesawat - termasuk keberadaan klausul hell or high water maupun force majeure dalam perjanjian sewa tersebut. Harapan lain ialah semoga tidak terlalu banyak campur tangan politik dalam memformulasikan kontrak serta memilih armada Garuda Indonesia ke depannya.

*)Ridha Aditya Nugraha dan Anggia Rukmasari, Air and Space Law Studies – International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Founding partner Legalexica dan praktisi aircraft financing. Pandangan dalam artikel ini merupakan pribadi kedua penulis.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait