Guru Besar FHUI: UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan Tidak Lebih Baik Dibanding UU PPLH
Utama

Guru Besar FHUI: UU Cipta Kerja Sektor Lingkungan Tidak Lebih Baik Dibanding UU PPLH

Mulai dilemahkannya peran masyarakat pemerhati lingkungan hidup dalam penerbitan dokumen Amdal, ruang keberatan ke pengadilan dihapus, pelemahan sanksi pidana, hingga menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam menilai dan menetapkan Amdal perusahaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Pasal 26 UU 32/2009

(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.

(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.

Pasal 26 UU Cipta Kerja

(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.  

(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Dia pun khawatir perubahan aturan ini berpotensi mudahnya menerbitkan Amdal “abal-abal” karena proses penerbitan Amdal ini tanpa kontrol masyarakat. Padahal, partisipasi masyarakat menjadi “jiwa” dalam penerbitan Amdal. “Izin lingkungan seolah dihapus karena dianggap tidak penting, padahal disitu ada kontrol masyarakat,” ujarnya.

Pelemahan sanksi pidana

Andri pun menyoroti soal sanksi pidana dalam Pasal 102 UU 32/2009. Dalam rumusan Pasal 102 UU PPLH terhadap orang yang membuang limbah B3 tanpa izin dijerat dengan pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar. Namun, dalam UU Cipta Kerja Pasal 102 dihapus.

Anehnya, UU Cipta Kerja tak menghapus Pasal 104 UU 32/2009 yang mengancam orang yang membuat dumping limbah tanpa izin dipidana maksimal 3 tahun dan denda Rp3 miliar. Menurutnya, menjadi aneh ketika membuang limbah berbahaya B3 tanpa izin bukan perbuatan pidana. Sedangkan, membuah limbah berbahaya tanpa izin diancam pidana. “Ini aneh dan tidak sejalan dengan praktik di banyak negara. Tiongkok saja membuang limbah B3 itu pidana,” kata dia.

Demikian pula, Pasal 109 UU PPLH diubah. Semula terhadap orang yang melakukan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan dapat dipidana. Sementara dalam perubahan Pasal 109 itu tanpa persetujuan izin lingkungan tidak serta merta bisa dipidana. Rumusan Pasal 109 yang baru (dalam UU Cipta Kerja, red), dapat dipidana sepanjang melakukan kegiatan usaha tanpa izin lingkungan jika menimbukan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan atau lingkungan.

Berpotensi merusak lingkungan

Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Center of human Right Law Studies) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman menilai UU Cipta Kerja berpotensi besar merusak hutan dan lingkungan hidup. Sebab, investasi yang berlebihan berdampak terhadap perubahan kerangka perizinan, lemahnya pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, dan sistem sanksi.

“Kesemuanya bakal berdampak negatif terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan yang menimbulkan ketidakpastian, serta mempengaruhi daya tarik pasar Indonesia,” kata Herlambang dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, Pasal 22 UU Cipta kerja secara substansi mengubah UU 32/2009. Termasuk menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam menilai dan menetapkan Amdal perusahaan. Koordinasi dengan pemerintah daerah, seperti terkait wilayah gas dan bumi, ketenagalistrikan kawasan ekonomi khusus, pun ikut dipangkas.

Baginya, Amdal perizinan tak lagi menjadi syarat mutlak terbitnya izin lingkungan. Sebab, melalui UU Cipta Kerja hal tersebut perizinan berusaha hanya dokumen administratif. Begitu pula komisi penilai Amdal menjadi tim uji kelayakan. Dia menilai pelemahan peran publik (masyarakat) menjadikan pemerintah berposisi sebagai “cap stempel".

“Ruang gerak organisasi lingkungan menjadi terbatas dalam berpartisipasi mengawasi dampak lingkungan. Kepentingan ekonomi menjadi lebih dominan, sehingga organisasi lingkungan yang tak secara langsung terhubung dengan kepentingan ekonomi tersisihkan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait