Hak Cipta Sebagai Jaminan Fidusia Terhambat Sistem Valuasi
Utama

Hak Cipta Sebagai Jaminan Fidusia Terhambat Sistem Valuasi

Perlu ada revisi UU Jaminan Fidusia untuk menyesuaikan dengan karakter khusus hak cipta sebagai objek jaminan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Brian mengakui bahwa persoalan hak cipta sebagai jaminan fidusia bukan hal yang mudah. Pertama, harus dipahami bahwa konstruksi hak cipta di Indonesia dibagi menjadi hak ekonomi dan hak moral. Hak Cipta dapat menjadi jaminan fidusia sebatas pada hak ekonominya. Kedua, hak ekonomi yang bisa dialihkan ini pun membuat Pemegang Hak Cipta tidak selalu si Pencipta.

 

“Misalnya buku menjadi komersial ketika sudah dijual. Saat penulis memberi lisensi penerbitan, yang bisa jadi debitur itu penulis atau penerbit?” kata Brian.

 

Menjadi lebih kompleks ketika berkaitan dengan hak cipta dalam musik. Pencipta musik, produser, artis yang menampilkan pertunjukan musik, dan komposer masing-masing memiliki hak ekonomi untuk suatu wujud karya yang sama. “Padahal barangnya satu, yaitu karya rekaman,” ujar Brian.

 

Oleh karena itu, perlu ada kejelasan soal siapa yang berhak menjadi debitur dalam jaminan fidusia berupa hak cipta. Peran penting notaris dibutuhkan untuk menyusun konstruksi hak apa saja yang diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan fidusia.

 

Mengenai catatan kritis Udin selaku notaris dan Arief dari OJK, Brian membenarkan bahwa diperlukan sistem valuasi yang bisa dipercaya jika masih ingin mempertahankan hak cipta sebagai jaminan fidusia. Sistem valuasi ini perlu dikelola lembaga khusus untuk menjamin nilai hak yang dibebani fidusia dapat dinikmati pemegang fidusia jika debitur cidera janji.

 

Hal lain yang perlu disediakan adalah pasar untuk menguangkan hak tagih dalam bentuk hak cipta tersebut. “Ada satu masa pemegang fidusia sudah malas nagih, dijual saja. Nah ini yang harus dicari market-nya,” kata Brian.

 

Tags:

Berita Terkait