Memahami Hak-hak Istri Pasca Menggugat Cerai Suami
Utama

Memahami Hak-hak Istri Pasca Menggugat Cerai Suami

Meski tidak dijelaskan secara eksplisit, namun KHI menyatakan hak istri setelah menggugat cerai suami adalah mendapat nafkah idah dari bekas suaminya, kecuali ia nusyuz.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA) Aco Nur mengungkapkan banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kasus perceraian selama pandemi COVID-19. Salah satunya, yakni masalah perekonomian. Banyak bahtera rumah tangga yang goyah karena kebutuhan ekonomi tidak tercukupi dengan baik.

"Banyak yang diputus pekerjaan sehingga mungkin jadi salah satu pemicu orang bercerai," kata Aco seperti dilansir Antara saat menghadiri peresmian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) secara daring di Pengadilan Agama Jakarta Barat, Kembangan, pada Jumat 15 Oktober 2021 lalu.

Tidak hanya karena ekonomi, dia menilai sosial media menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perceraian. Menurutnya, banyak media sosial yang mengumbar masalah rumah tangga orang hingga akhirnya bercerai. Hal tersebut yang memicu warga lain tergerak untuk bercerai lantaran dianggap sebagai solusi dari masalah dalam rumah tangga. Dia berharap masyarakat bisa lebih bijak menggunakan sosial media sehingga tidak memicu adanya perpecahan dalam rumah tangga.


"Saya harap permasalahan yang mengakibatkan dan memancing mereka untuk melakukan itu diminimalkan. Kesadaran hidup itu ada tantangan bukan menjadi faktor rumah tangga terpecah," kata Aco Nur. (Baca Juga: Catat, Kini Restitusi Sampai Rp5 Miliar Dapat Pengembalian Pendahuluan)

Tak bisa dipungkiri dalam sebuah hubungan perkawinan, perceraian adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Tak hanya dari pihak laki-laki atau suami, namun perceraian juga dapat dimohonkan oleh pihak perempuan selaku istri. Gugatan cerai yang diajukan oleh suami maupun istri memiliki risiko hukum yang berbeda, terutama terkait hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Dikutip dalam artikel klinik Hukumonline “Hak-hak Istri Setelah Menggugat Cerai Suami”, analisis hak istri setelah menggugat cerai suami tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks perceraian dalam hukum perdata Islam yang berlaku. Dalam Islam, jika suami merasa dirugikan dengan perilaku maupun kondisi istrinya, ia berhak menjatuhkan talak. Begitu pula sebaliknya, jika istri minta cerai karena tidak bahagia dan merasa dirugikan dengan perilaku dan kondisi suaminya, ia dapat melakukan rapak cerai. Cerai rapak atau rapak cerai adalah gugatan cerai yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Proses gugatannya dapat melalui khulu’ maupun fasakh.

Menurut hukum Islam di Indonesia, perceraian dalam hukum perdata Islam dapat diklasifikasikan atas inisiatif pasangan, yakni pertama atas inisiatif suami. Bentuknya dapat berupa: talak, yaitu hak suami untuk menceraikan istrinya dengan kata-kata tertentu; taklik talak, yaitu talak yang digantungkan pada terjadinya sesuatu yang disebutkan dalam ikrar talak sesudah ijab kabul dilangsungkan.

Dan kedua, perceraian atas inisiatif istri. Bentuknya dapat berupa fasakh, yaitu bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan istri karena suaminya gila, sakit kusta, sakit sopak, atau sakit berbahaya lainnya yang sukar disembuhkan atau karena cacat badan lainnya yang menyebabkan suami tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai suami; dan khuluk, yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya (Pasal 1 huruf i Kompilasi Hukum Islam (KHI)).

Lalu bagaimana dengn nakfah atau hak istri setelah perceraian dalam hukum Islam? Menurut Rendra Widyakso dalam Tuntutan Nafkah dalam Perkara Cerai Gugat pada laman Pengadilan Agama Semarang, menerangkan bahwa ada beberapa kategori pembagian nafkah kepada mantan istri setelah perceraian:

Pertama, nafkah madhiyah. Yaitu nafkah yang telah lampau dan tidak selalu dihubungkan dengan perkara cerai talak. Dalam hal ini, istri dapat mengajukan tuntutan nafkah madhiyah saat suaminya mengajukan perkara cerai talak dengan mengajukan gugatan rekonvensi.

Kedua, nafkah idah. Pasca putusan, mantan istri akan menjalani masa idah. Sehingga konsep nafkah idah sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dijadikan illat yang sama terhadap perkara cerai talak.

Ketiga, nafkah mut’ah. Konsepnya adalah istri yang dicerai merasa menderita karena harus berpisah dengan suaminya. Guna meminimalisasi penderitaan atau rasa sedih tersebut, maka diwajibkanlah bagi mantan suami untuk memberikan nafkah mut’ah sebagai penghilang pilu. Namun, beberapa pendapat menyatakan bahwa apabila yang mengajukan gugatan cerai adalah istri, maka nafkah mut’ah dianggap tidak ada.

Keempat, nafkah anak. Tentunya jatuh pada saat setelah terjadinya peristiwa cerai. Tidak menutup kemungkinan dibolehkan dalam perkara cerai gugat untuk mengajukan tuntutan atas nafkah anak. Persoalan kewajiban ayah pada anak setelah bercerai menurut islam sebagaimana diatur dalam KHI wajib dipenuhi sesuai kemampuan ayahnya hingga anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (Pasal 156 huruf d KHI).

Selanjutnya, secara spesifik, Pasal 149 KHI mengatur bahwa:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul; memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul; memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Namun, bagaimana jika perceraian terjadi karena gugatan dari pihak istri? Dosen senior di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang tergabung dalam Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam FHUI (LKIHI FHUI) menegaskan, penting untuk diketahui bahwa KHI tidak menyebutkan hak istri setelah menggugat cerai suami secara eksplisit. Namun, yang jelas, KHI menyatakan hak istri setelah menggugat cerai suami adalah mendapat nafkah idah dari bekas suaminya, kecuali ia nusyuz (Pasal 152 KHI).

Menurut KBBI, yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum.

Lebih lanjut, dalam Pasal 84 ayat (1) KHI menerangkan bahwa istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban utama, yakni berbakti lahir dan batin kepada suaminya di dalam batas-batas yang dibenarkan hukum Islam sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) KHI.

Kemudian, apabila terjadi li’an, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah (Pasal 162 KHI).

Arti li’an menurut KBBI adalah sumpah seorang suami dengan tuduhan bahwa istrinya berzina, sebaliknya istrinya juga bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya bohong. Masing-masing mengucapkannya empat kali, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat Allah jika berdusta. Akibatnya, suami istri itu bercerai dan haram menikah kembali seumur hidup.

Nafkah Ketika Istri Menggugat Cerai

Kendati demikian, dalam praktik peradilan agama, gugatan akan nafkah atau hak istri setelah menggugat cerai suaminya disertakan saat gugatan cerai. Sehubungan dengan hal ini, tidak sedikit dalam kasus gugatan cerai, gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim.

Contoh kasus dikabulkannya gugatan hak istri setelah menggugat cerai suami dapat ditemukan pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 2615/Pdt.G/2011/PA.JS, sebagaimana diuraikan oleh Erwin Hikmatiar dalam Nafkah Iddah pada Perkara Cerai Gugat.

Dalam kasus cerai gugat ini, hakim menjatuhkan putusan bahwa mantan suami sebagai tergugat wajib memberikan nafkah kepada mantan istrinya sebagai penggugat. Bentuk hak istri setelah menggugat cerai suami dalam kasus ini, antara lain (hal. 165):

“hadanah kepada penggugat setiap bulan minimal sejumlah Rp4 juta sampai anak tersebut dewasa dan mandiri atau berumur 21 tahun; nafkah idah kepada penggugat selama tiga bulan sebesar Rp10 juta.”

Hak istri setelah menggugat cerai suami berupa nafkah idah ini dianggap sebagai kewajiban dari mantan suami kepada istri yang telah diceraikan. Hal ini merupakan suatu sikap yang sepatutnya dilakukan oleh suami karena nafkah idah bisa sedikit meringankan beban hidup ketika menjalani masa idah dan bisa menjadi pelipur lara bagi istri.

Hal ini dikonfirmasi pula oleh Mahkamah Agung dalam Lampiran SEMA 3/2018, di mana hak istri setelah menggugat cerai suami dapat berupa nafkah idah dan nafkah mut’ah sepanjang tidak nusyuz (hal. 15).

Namun, hakim dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah idah, nafkah mut’ah, dan nafkah anak, harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kepatutan dengan menggali fakta kemampuan ekonomi suami dan fakta kebutuhan dasar hidup istri dan/atau anak (hal. 14).

Berdasarkan putusan dan edaran tersebut, tidak tertutup kemungkinan dalam perkara cerai gugat, pihak penggugat (istri) dapat mengajukan hak istri setelah menggugat cerai suami berupa nafkah nafkah idah, nafkah mut’ah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz.

Namun, dikabulkannya permohonan hak istri setelah menggugat cerai suami ini sifatnya kasuistik, tergantung alasan dan kondisi-kondisi yang terjadi. Termasuk kemampuan ekonomi suami.

Tags:

Berita Terkait