Berdasarkan catatan hukumonline, dalam putusan bernomor 4/PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001, majelis hakim MA menyatakan bahwa siapa saja dapat mengajukan permohonan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atas kasus korupsi.
Bukan yurisprudensi
Sesuai dengan asas pengawasan horisontal dalam penjelasan pasal 80 KUHAP, yang implikasinya untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran, dapat dilaksanakan secara efektif dengan berperan sertanya masyarakat luas (partisipasi masyarakat).
Oleh sebab itu istilah pihak ketiga yang berkepentingan tidak mesti dibatasi hanya kepada saksi korban dalam peristiwa pidana dan yang dirugikan langsung. Melainkan, semua orang baik manusia pribadi maupun badan hukum kecuali penyidik dan penuntut umum" tulis majelis hakim dalam pertimbangannya dalam putusan PK tersebut.
Sebenarnya, dalam permohonan praperadilannya, ICW telah menyertakan putusan PK MA itu sebagai dasar gugatan. Tapi, dalam pertimbangan hukumnya, hakim Yohannes menyatakan putusan PK MA itu bukan merupakan yurisprudensi.
Tentu saja pendapat Yohanes, dinilai aneh oleh Iskandar. Seharusnya lajut Iskandar, hakim berpegang pada pendapat ahli, yaitu M. Yahya Harahap dan Andi Hamzah yang menyatakan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan adalah orang yang terlibat dalam proses. Apalagi, pendapat dua ahli itu dikeluarkan sebelum adanya putusan PK MA itu.
ICW punya kapasitas
Sedangkan soal ICW yang dianggap tidak mempunyai kapasitas mengajukan praperadilan, Iskandar menilai hal itu bertentangan dengan UU No 20/2000 tentang Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, pasal 41 UU itu secara tegas menyebutkan peran masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Selanjutnya dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. "Jadi, tidak perlu ICW diakui oleh UU, wong UU sudah menyebutkan peran masyarakat," cetus Iskandar.
Soal gugatan yang salah pihak, Iskandar mengatakan pihaknya mengacu pada UU Kejaksaan. Dalam pasal 3 UU No 5/1991 tentang Kejaksaan disebutkan pelaksanaan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan dijalankan oleh jaksa agung, jaksa tinggi dan kejaksaan negeri. "Jadi tidak ada kekuasaan penuntutan adalah jaksa agung atau jaksa tinggi, itu tidak ada," ujar Iskandar.
Lebih jauh, Iskandar menilai putusan hakim tersebut tidak mengikuti semangat pemberantasan korupsi yang sedang berkembang, yang telah diakomodir oleh putusan PK MA dan UU Korupsi.
"Tetapi kalau hakim menghasilkan putusan sangat legalistik seperti itu dan tidak mau berkembang artinya pemberantasan korupsi justru hambatannya di penegak hukumnya. Penegak hukum pandangannya justru set back ke tahun 80-an " tandas Iskandar.
Ada tiga alasan yang diajukan oleh hakim. Pertama, hakim berpendapat bahwa ICW bukan pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan, karena bukan saksi korban. Kedua, ICW dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk mengajukan praperadilan, karena bukan lembaga yang diakui oleh UU.
Sedangkan alasan ketiga, hakim menilai gugatan ICW salah pihak (error in persona). Menurut hakim, seharusnya yang digugat adalah pejabatnya, bukan institusinya. Sehingga lanjut hakim, ICW seharusnya menggugat Jampidsus sebagai pihak yang menandatangani SP-3 itu, bukan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Namun, pertimbangan hakim itu ditolak salah satu pengacara ICW, Iskandar Sonhadji. Menurut Iskandar, putusan hakim itu bertentangan dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) MA dalam perkara praperadilan yang diajukan Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera (IKBLA) terhadap kejaksaan agung cq Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur cq Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda karena mengeluarkan SP-3 terhadap kasus korupsi.