Holding BUMN Momentum Tepat Revisi Ketentuan Keuangan Negara
Holding BUMN Tambang

Holding BUMN Momentum Tepat Revisi Ketentuan Keuangan Negara

Idealnya BUMN menjadi entitas bisnis murni, tanpa perlu pengawasan DPR.

Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah membentuk induk usaha (holding) BUMN secara sektoral. Ada enam sektor yang telah diajukan oleh Kementerian BUMN untuk dibentuk holding, yakni sektor perbankan dan lembaga pembiayaan, sektor konstruksi dan jalan tol, sektor perumahan, sektor ketahanan energi, sektor pangan, sektor pertambangan dan sektor maritim.

 

Dengan adanya holdingisasi, maka akan terbentuk perusahaan holding induk (super holding company) BUMN. Perusahaan induk ini akan menjadi payung pengelola perusahaan-perusahaan BUMN yang menjadi anak usahanya. Perusahaan holding induk akan dipimpin oleh seorang Chief Executive Officer (CEO) yang melaporkan kinerja perusahaan kepada Presiden.

 

Upaya holding company BUMN ini sudah dimulai pada tahun 1998. Menteri Negara BUMN, Tanri Abeng pada saat itu, mengajukan gagasan holdingisasi BUMN. Rencana holdingisasi tersebut dipilih sebagai metode restrukturisasi. Harapannya, BUMN yang membentuk holding berubah agar memiliki daya saing dan daya cipta yang tinggi. Sebab, BUMN diyakini memiliki peran strategis dalam pembangunan perekonomian dan penyediaan kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

 

Pengamat Hukum Keuangan Negara dari FHUI, Dian Puji Simatupang, mengakui bahwa tujuan holding BUMN sangat baik. Ia menyebutkan, holding dapat mendorong BUMN sebagai pelaku bisnis utama yang kompetitif. Dian sepakat, pembentukan holding bisa membuat BUMN semakin sehat dan berdaya saing tinggi.

 

Hanya saja, menurut Dian pelaksanaan holding BUMN rentan terhadap masalah hukum, terutama berkaitan dengan sistem keuangan negara. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN adalah badan usaha yang mendapat penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Menurut Dian, frase secara langsung dapat berarti perusahaan yang masuk kategori BUMN adalah perusahaan induk saja, sementara anak perusahaan tidak termasuk ke dalam BUMN.

 

“Kalau merujuk UU BUMN, maka dalam skema holding yang masuk kategori BUMN hanya induknya saja. Karena mendapat penyertaan mosal secara langsung dari negara,” kata Dian kepada hukumonline, Kamis (5/12).

 

Selain itu, frase “kekayaan negara yang dipisahkan” menurut Dian juga menimbulkan multi tafsir mengenai batas hak dan kewajiban negara terhadap BUMN. Maka, timbul perdebatan apakah negara ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaannya tersebut. Terlebih, Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014 menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam lingkup keuangan negara sehingga kewenangan pengawasan tetap dilakukan oleh pemerintah.

 

Dian pun menjelaskan, kekayaan negara yang telah disetorkan sebagai modal usaha BUMN di satu sisi memang pengelolaannya berdasarkan prinsip bisnis. Hanya saja, kekayaan negara tersebut tidak menjadi kekayaan BUMN. Sehingga, holding BUMN tetap harus diawasi oleh BPK sebagaimana BUMN umumnya.

 

(Baca Juga: Untung Rugi Ketika Antam, Bukit Asam, dan Timah ‘Melepas’ Status Persero)

 

Menurut Dian, paradigma tersebut justru menimbulkan kerancuan. Sebab, sebagai sebuah entitas bisnis seharusnya BUMN juga mendapat perlakuan yang sama dengan badan usaha lainnya. Bukan dikekang dengan berbagai aturan yang lebih banyak.

 

“Kalau bicara bahwa holding untuk meningkatkan daya saing BUMN, selama ketentuan hukumnya seperti ini ya susah juga. Peraturan yang inkonsistensi mengenai kekayaan negara terkait dengan modal BUMN ini justru mengekang BUMN itu sendiri,” tutur Dian.

 

Hukumonline.com

Sumber: Kementerian BUMN

 

Dian memastikan, jika diteruskan saat ini maka holding BUMN pada prinsipnya bertentangan dengan hukum. Ia menambahkan, ketentuan dalam UU BUMN telah jelas mengatur mengenai kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga, jika memang holdingisasi tetap ingin dilanjutkan oleh pemerintah, maka Dian mendesak agar UU BUMN segera direvisi.

 

“Pengaturan mengenai kekayaan negara yang dipisahkan harus dirumuskan kembali. Rencana holdingisasi ini bisa menjadi momentum yang pas untuk melakukan perumusan ulang. Sehingga, gerak BUMN ke depannya tidak lagi terbatas,” tuturnya.

 

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono mempersoalkan mekanisme kontrol yang tidak melibatkan DPR.  Peraturan Pemerintah (PP) No 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan Perseroan Terbatas mengatur bahwa perubahan aset ataupun penambahan kekayaan BUMN tidak perlu melalui mekanisme pelaporan kepada DPR.

 

Padahal menurut Bambang, semua perubahan aset ataupun penjualan saham BUMN sebagai perusahaan negara harus sepengetahuan atau seizin masyarakat yang diwakili oleh DPR. “DPR sebagai wakil rakyat harus tahu semua perubahan aset ataupun penjualan saham BUMN. Karena BUMN adalah perusahaan negara,” katanya.

 

(Baca Juga: Jalan Berliku Terbentuknya Holding BUMN Tambang)

 

Bambang juga mempertanyakan, apa sebenarnya manfaat pemerintah membentuk holding BUMN, karena BUMN yang ada saat ini sudah di-holding bukannya membaik kinerjanya, tapi malah terpuruk. Dia mencontohkan holding perkebunan, sebelum PT Perkebunan Nusantara (PTPN) digabung dalam holding, mereka masih meraup untung Rp350 miliar. Tapi setelah diholding, bukannya untung malah mengalami kerugian.

 

"Tahun 2016 lalu Holding Perkebunan rugi Rp2 trilun, padahal sebelum di holding untung Rp250 miliar. Tak hanya rugi, utang holding perkebunan juga meningkat menjadi Rp60,2 triliun pada 2016," terangnya.

 

Lebih ironis lagi, Ia menambahkan beberapa bulan lalu sebanyak 18 pabrik gula nasional milik BUMN di tutup oleh pihak kepolisian dan Kementerian Perdagangan karena tidak sesuai standar nasional Indonesia (SNI). "Ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah, karena produksi gula dari pabrik gula milik BUMN tersebut tidak sesuai SNI," ucap Bambang.

 

Tidak hanya itu, holding Semen juga mengalami nasip yang sama, terlihat pada tahun 2012 penguasaan pasar domestik atau market share BUMN semen mencapai 48%, namun setelah holding malah menukik drastis. Setelah holding market share untuk 2016 tinggal 21%. “Ini bukti bahwa kebijakan holding itu belum tentu baik, market domestik aja turun bagaimana mau menang di pasar regional maupun internasional?," tutur dia.

 

Tak perlu pengawasan DPR

Menurut Dian, justru idealnya kekayaan negara yang sudah menjadi modal BUMN tidak lagi menjadi kekayaan negara, melainkan menjadi kekayaan BUMN. Dengan demikian, BUMN menjadi entitas bisnis murni. Sehingga, ruang geraknya lebih luas untuk mengambil langkah-langkah bisnis. Ia yakin, hal itu bisa meningkatkan profit BUMN.

 

Dian pun menolak banyak anggapan yang menilai kinerja BUMN terus memburuk meskipun banyak saham inbreng. Menurutnya, yang membuat kinerja BUMN tidak bisa optimal adalah ketentuan mengenai kekayaan negara yang dipisahkan dalam UU BUMN itu. Ia menegaskan, hal itu membuat BUMN menjadi kurang lincah karena dikekang dengan beragam aturan.

 

(Baca Juga: Menelaah Area Kritis Implementasi Beleid Holding BUMN Tambang)

 

“Jadi, persoalannya selama ini adalah aturan yang mengekang. Walaupun uangnya banyak tapi aturannya membuat tidak bisa mengelola uang, ya sama saja bohong,” tandasnya.

 

Kendati BUMN tidak lagi diawasi oleh DPR, Dian yakin tetap ada mekanisme kontrol yang bisa digunakan oleh negara. Ia mengatakan, Presiden sebagai kepala negara bisa mengambil peran kontrol secara tunggal terhadap BUMN. Dengan demikian, birokrasi yang harus dijalani oleh BUMN menjadi lebih ringkas.

 

Praktik tersebut, menurut Dian sudah lumrah dilaksanakan di banyak negara. Ia merujuk negara tetangga terdekat yang juga melakukan hal itu. “Singapura dengan Temasek-nya, misalnya. Kita bisa contoh mereka untuk mengikuti langkah itu. Mereka tidak perlu pengawasan DPR. Cukup Presiden,” katanya.

 

Dengan merujuk praktik terbaik yang dilakukan oleh Temasek, Dian menilai ideal bagi BUMN untuk menjadi korporasi murni. Tanpa mendapat embel-embel kekayaan negara. Namun, langkah-langkah yang diambil oleh korporasi sebagai BUMN tetap dikendalikan oleh Presiden. 

 

Selain itu, mekanisme kontrol juga tidak perlu dilakukan oleh Menteri BUMN. Menurutnya, jika memilih untuk melaksanakan holdingisasi, maka jabatan Menteri BUMN tidak diperlukan lagi. Ia memproyeksikan agar Menteri BUMN melebur ke dalam BUMN sebagai Super General Manajer. “Jadi, kontrol negara pun pakai cara privat,” pungkasnya. 

 

Tags:

Berita Terkait