Disamping itu, kewajiban panitera menolak perkara tidak sinkron dengan asas yang selama ini berlaku di pengadilan. Pada asasnya ‘pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pasal-pasal mengenai asuransi dalam Undang-Undang Kepailitan memang sempat menimbulkan perdebatan saat masih bersifat RUU di DPR. Adanya politik uang dalam pembahasan RUU itu di Komisi IX DPR sempat mencuat. Namun, Faisal Baasyir, Wakil Ketua Komisi IX saat itu membantah habis adanya politik uang.
Sinyalemen politik uang itu mencuat antara lain karena diakomodirnya pasal-pasal asuransi tadi. Perusahaan-perusahaan asuransi ditengarai berada di balik pengesahan pasal-pasal yang kini dimohonkan judicial review. Tetapi di depan DPR (21/9/2004), Menkeh (saat itu) Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Undang-Undang Kepailitan baru adalah untuk memberikan kepastian hukum dan rasa aman bagi pelaku bisnis, baik dalam maupun luar negeri.
Kini, lewat Mahkamah Konstitusi, YLKAI meminta agar pasal-pasal asuransi dan kewajiban panitera menolak perkara tadi dinyatakan tidak berlaku alias tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lewat regulator
Menanggapi permohonan YLKAI, praktisi asuransi Kornelius Simanjuntak menilai permohonan judicial review tersebut tidak pada tempatnya. Ia berpendapat, sudah seharusnya permohonan pailit disalurkan melalui regulator dan lembaga pengawas industri asuransi. Sebab, dalam industri asuransi harus memperhatikan kepentingan yang lebih luas dari konsumen tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat tertanggung.
Pemerintah sebagai regulator wajib menjaga kepentingan dari tertanggung secara keseluruhan. Kalau nggak bisa terjadi kasus seperti Prudential dan Manulife, tukas Kornelius (14/1).
Ia menggarisbawahi, UU No.37/2004 tidak mengurangi hak individu untuk mendapatkan haknya dari kontrak polis. Lagipula, saat ini pemerintah dan industri asuransi juga sedang mempersiapkan lembaga yang dinamakan biro mediasi dan pelayanan konsumen masyarakat asuransi. Biro ini akan menyelesaikan perselisihan antara konsumen dengan perusahaan asuransi.
Nanti (perselisihan) akan diselesaikan oleh mediator yang memahami perasuransian dan konsumen tidak akan dikenakan biaya, ungkap Kornelius.
Permohonan pengujian Undang-Undang Kepailitan itu diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia (YLKAI). Lucas, salah seorang kuasa hukum YLKAI yang mengaku menangani perkara ini secara probono, mengatakan bahwa kliennya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang tersebut. Hak konstitusional klien kami dirugikan, ujarnya.
Pada dasarnya ada dua masalah yang dipersoalkan YLKAI. Pertama, soal perlunya ‘restu' dari Menteri Keuangan untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Kedua, hak panitera Pengadilan Niaga untuk menolak pendaftaran berkas permohonan pailit.
Ada empat pasal dalam Undang-Undang Kepailitan yang berkenaan dengan kedua masalah di atas. Pasal 2 ayat (5) menyebutkan dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan kepailitannya hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 223 mengatur hal yang sama untuk debitor yang berupa bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
Dengan ketentuan tersebut, hak konstitusional pemohon YLKAI menjadi terhalang untuk mengajukan permohonan pailit. Padahal, YLKAI mengklaim punya legal standing untuk mengajukan permohonan tersebut.
Kewenangan panitera
Berikutnya adalah pasal 6 ayat (3) jo pasal 224. Kedua pasal ini memberi kewajiban kepada Panitera Pengadilan Niaga untuk menolak perkara permohonan pailit jika tidak sesuai ketentuan. Kewajiban panitera menolak meregister permohonan pailit itu dinilai YLKAI bertentangan dengan Konstitusi, terutama prinsip persamaan di depan hukum yang tercantum pada pasal 27 ayat (1) jo pasal 28D ayat (1) UUD 1945.