Kalau Bisa Jangan Tugaskan Saya Dekat Laut'
Berita

Kalau Bisa Jangan Tugaskan Saya Dekat Laut'

Teuku Syarafi, hakim Pengadilan Negeri Juntho, Nanggroe Aceh Darussalam tidak berani memprediksi sampai kapan ia dapat menghilangkan trauma bencana tsunami. Tentang kisah sedih di hari Minggu itu, Syarafi sampai sekarang masih merinding kalau mengingat kembali kenangan pahitnya menghindari air bah.

Gie
Bacaan 2 Menit
‘<i>Kalau Bisa Jangan Tugaskan Saya Dekat Laut</i>'
Hukumonline
Syarafi adalah salah satu hakim di Serambi Mekah yang lolos dari bencana gempa bumi dan tsunami di Minggu 26 Desember 2004 lalu. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur kepada karena masih dapat merasakan berputarnya roda kehidupan sampai hari ini.

Menahan kepedihannya, ia masih berupaya menyelamatkan istri dan anak-anaknya dengan menggunakan mobil. Dalam hitungan detik, upayanya menaiki mobil bersama istrinya yang sedang menggendong dua putri kembarnya gagal. Istrinya dan putri kembarnya terjatuh dan putranya tergerus hanyut bersama air.

Untunglah, masyarakat sekitar dapat menyelamatkan putri kembarnya, Cut Lufah Sarfa dan Cut Ulferah Sarfa yang masih berusia empat bulan. Bayi-bayi mungil ini ditemukan dalam keadaan lemah setelah sempat terminum air. Istrinya, yang juga selamat harus menjalani operasi setelah kakinya terhempas kayu.

Ketika air mulai surut, perlahan Teuku mulai mencari putra dan sanak saudaranya. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, empat jam setelah bencana, dengan dibantu warga sekitar yang selamat, Teuku menemukan putranya terhimpit dalam reruntuhan Asrama Polri.

Saat itu, sekujur tubuhnya tak lagi kuasa untuk menahan pedih, menemukan buah hatinya yang terbujur kaku. Hari itu, terakhir kali ia memandang putranya yang baru berusia empat tahun. Dengan seluruh ketegaran hatinya, ia membalut kain kafan di tubuh putranya dan ia kuburkan sendiri buah hatinya.

Kini Syarafi yang mengungsi ke rumah kerabatnya di Jakarta hanya bisa berdoa agar putra dan 17 sanak keluarga yang menjadi korban tsunami tersenyum di sisi Sang Pencipta. Mengingat kejadian itu, Teuku pun seakan tak berani berdekatan dengan air. Air yang membuat ingatannya kembali pada masa-masa tragis. Bahkan, sulit bagi Teuku untuk menapakkan kakinya di tanah kelahirannya sendiri.

Sambil perlahan mengatasi traumanya, Syarafi menyatakan siap untuk kembali bekerja. Ia bisa berharap untuk dapat kembali bertugas di meja hijau. Namun, hanya satu pintanya, ia tak ingin ditugaskan berdekatan dengan laut.

Di atas rasa syukurnya, Syarafi sebaliknya juga tidak kuasa menahan pilu saat mengingat kejadian mencekam yang akhirnya harus merenggut putra pertama dan 17 orang anggota keluarganya.

Betapa tidak, kejadian pagi itu jauh di luar dugaannya. Syarafi yang tinggal di Komplek Perumnas Lingke Banda Aceh menjelaskan kawasan tersebut tergolong jauh dari laut. Alih-alih memikirkan air bah akan mengepung, di hari yang naas itu ia masih sempat keluar untuk menyaksikan Masjid di dekat rumahnya rubuh pasca gempa bumi.

Tak lama, hanya berselang 15 menit, ketika ia sedang menyaksikan rubuhnya Masjid, tiba-tiba orang-orang mulai lari berhamburan. Teriakan datangnya air bah membuat Syarafi mengambil langkah seribu.

Saat itu, ia langsung berlari menjemput istri dan ketiga anaknya. Kepanikannya bertambah ketika dengan mata kepalanya sendiri ia melihat ayah kandungnya digulung air bah. Air yang datang dari segala penjuru membuat Syarafi makin sulit menjangkau dan harus merelakan ayahnya hanyut.

Tags: