Di luar dugaan, ombakpun menghempaskan tubuh Ardi sampai terseret sejauh 30 meter. Untungnya ia masih sempat berenang. Tak sempat lagi Ardi melawan ombak untuk menarik istri dan kedua anaknya. Saat itu, istri Ardi sempat memeluk putra-putri mereka. Namun, dalam terjangan air, pelukan itu terlepas. Istri dan putra sulung mereka, Satya beruntung tersangkut di pohon melinjo.
Namun, Alia Adilla Putri, bocah cilik yang Februari nanti genap berumur tiga tahun tahun ikut terseret air bah. Tak patah semangat, ketika air mulai sedikit surut, mahasiswa angkatan 1984 yang memperoleh gelar sarjana hukumnya dari Universitas Indonesia ini terus mencari putrinya. Dengan baju yang melekat di badan, ia masih berusaha mencari putri kecilnya dengan segala harapan.
Dua hari berlalu, di tengah reruntuhan kota Banda Aceh, mayat-mayat yang mulai membusuk dan tubuhnya yang mulai melemah, Ardi akhirnya menghentikan pencariannya. Tidak terbayangkan olehnya untuk mengeruk lumpur setinggi satu meter lebih dalam situasi stres dan lemah. Sampai akhirnya, ia pasrah kepada yang Khalik. Membiarkan Tuhan merawat putrinya dimanapun peri kecilnya berada.
Di tengah kepedihannya, Ardi menyempatkan diri untuk melapor kepada ketua PN Banda Aceh, Saparudin Nasution. Di rumah ketua PN, mereka ditawarkan untuk tinggal. Namun, mereka memilih mengungsi ke pedesaan di pinggir Banda Aceh yang jauh dari pantai. Alasannya, istri dan anaknya masih trauma dengan situasi kota yang hancur lebur.
Sampai hari ini (5/1), Ardi yang kini berada di rumah kerabatnya di Jakarta dan belum menemukan putrinya. Bersama beberapa hakim yang bertugas di Aceh, ia telah bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan.
Ardi saat ini masih diberi kesempatan untuk beristirahat. Namun, kalau toga itu harus dipakai kembali di tanah rencong, Ardi menyatakan siap. Hanya saja, istri dan anaknya tidak lagi bisa menginjak tanah itu, tanah dimana putrinya mungkin berada.