Ini Hal-hal yang Turut Mempengaruhi Penerimaan Pajak
Berita

Ini Hal-hal yang Turut Mempengaruhi Penerimaan Pajak

Mulai dari mereformasi sektor pajak, perbaikan sistem hukum pajak dan melawan praktik penghindaran pajak.

HAG
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: HLM
Foto ilustrasi: HLM
Kebutuhan kuat menciptakan penerimaan pajak yang berkesinambungan menjadi keharusan untuk membiayai pembangunan. Pengamat perpajakan, Bawono Kritiaji, dari Danny Darussalam Tax Centre menjelaskan bahwa dalam konteks tersebut, pemerintah perlu mengupayakan cara-cara memobilisasi penerimaan pajak dengan lebih baik.

“Namun sayangnya, kondisi pajak di Indonesia kurang menggembirakan,” kata lelaki yang akrab disapa Aji kepada hukumonline, Rabu (2/3).

Aji melihat pemerintah tengah berupaya membenahi berbagai hal guna meningkatkan penerimaan pajak. Pembenahan tersebut dapat dilihat dengan adanya reformasi sektor pajak, perbaikan sistem hukum pajak dan melawan praktik penghindaran pajak (tax avoidance).

“Terdapat kemauan untuk melakukan tax reform, mulai dari memperbaiki hukum pajak, seperti merevisi UU PPh, PPN, dan KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan), meningkatkan kepatuhan pajak (tax amnesty, akses data perbankan, dan sebagainya), melawan praktik tax avoidance, hingga perbaikan kapasitas kelembagaan,” ujarnya.

Aji mengatakan, pengampunan pajak pada dasarnya sangat perlu dilakukan dalam mengatasi rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia. Di tahun 2013, hanya terdapat 37 persen wajib pajak yang melaporkan SPT nya.

“Padahal kita tahu bahwa jumlah WP di Indonesia pun hanya kurang dari sepertiga angkatan kerja di Indonesia. Artinya, ini mengindikasikan pundi- pundi pajak selama ini hanya ditopang oleh segelintir masyarakat saja. Atau hanya orang yang itu-itu saja yg membayar pajak. Sedangkan sisanya belum patuh,” katanya.

Adanya tax amnesty sebenarnya memberikan jembatan bagi yang selama ini belum patuh agar menjadi patuh. Dengan demikian, kebijakan itu akan menuju sistem pemajakan yang lebih berkeadilan, di mana setiap pihak yang menerima manfaat barang publik akan juga membayar sesuai kemampuannya.

Dia menambahkan, tax amnesty akan memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan data yang nantinya dapat digunakan untuk memetakan potensi penerimaan hingga verifikasi dalam pemeriksaan. Meski demikian, Aji mengingatkan bahwa tax amnesty haruslah diletakkan dalam bingkai reformasi pajak yang memiliki tujuan jangka panjang.

“Padahal ketersediaan data berpengaruh pada tingkat kepatuhan. Akibatnya, basis pemajakan meluas dan sebagai konsekuensinya penerimaan pajak dapat meningkat. Belajar dari sunset policy, maka manajemen data penting untuk diperhatikan, misalkan sistem IT.

Aji juga mendukung adanya kebijakan untuk pembukaan data nasabah oleh perbankan. Menurutnya, secara empiris, terdapat korelasi positif antara ketersediaan data dan kepatuhan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa di banyak negara data perbankan dapat diakses untuk tujuan perpajakan.

Sistem tersebut, menurutnya, paling tidak telah dilakukan di 37 negara di dunia, mulai dari Amerika Serikat, Argentina, Cina hingga Estonia. Walau demikian, penting untuk diperhatikan bahwa di banyak negara tersebut diatur pula mengenai otoritas yang dapat mengakses, pada level jabatan apa yang bisa mengakses, hingga sanksi tegas bagi yang membocorkan.

“Secara global juga telah ada kerjasama internasional untuk secara otomatis dapat saling menukarkan data informasi keuangan nasabah yang berasal dari luar negeri. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah adanya praktik offshore tax evasion yang biasanya berupa praktik menyembunyikan harta atau penghasilan dari otoritas pajak di negara-negara yang memiliki kerahasiaan bank (tax haven),” jelasnya.

Menurut Aji, waktu untuk membuat kerangka hukum atas hal tersebut sangat tepat karena mulai 2017 Indonesia mulai bertukar informasi dengan US (FATCA) dan 2018 dengan negara-negara di luar US (dalam kerangka common reporting standard/CRS). “Dan juga adanya pembahasan revisi UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,” tuturnya.

Namun sayangnya, dari itu semua, penegakan hukum dirasa masih kurang kuat. Salah satu faktornya adalah terdapat keterbatasan kapasitas lembaga mulai dari jumlah SDM DJP yang kurang dari ideal hingga juga teknologi.

“Sehingga dengan adanya rencana transformasi kelembagaan di 2018 menjadi lebih otonom itu harusnya dapat diartikan sebagai signal semakin kuatnya penegakan hukum pajak di masa mendatang,” papar Aji.

Tags:

Berita Terkait