Ini Landasan Pembentukan Perma Pemidanaan Perkara Tipikor
Berita

Ini Landasan Pembentukan Perma Pemidanaan Perkara Tipikor

Landasan filosofis dan yuridis pembuatan Perma ini terlihat hakim tetap menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi Perma Pemidanaan Tipikor ini dinilai tidak mengungkung kemandirian hakim.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

Mengutip Mirco Bargaric, ketika norma hukum diterapkan secara tidak konsisten, sebenarnya telah mencerminkan ketidakadilan yang pasti. Namun, konsistensi itu sendiri bukan indikator keadilan dalam penjatuhan hukuman yang tepat atau sesuai. “Jadi, Perma ini bukan indikator keadilan yang sama, tetapi konsistensi itu diperlukan dalam penjatuhan hukuman pidana,” kata dia. (Baca juga: Dua Profesor Ini Sebut Perma Pemidanaan Perkara Tipikor Batasi Kemandirian Hakim)

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi dan Kebijakan Hukum Pidana FH Unair Maradona menilai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah pasal khas Indonesia menyangkut kerugian negara. Terdapat beberapa unsur dalam Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor ini, seperti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; secara melawan hukum; dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; hukumannya seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara, maksimal 20 tahun, denda minimal 200 juta sampai 1 miliar; serta dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Sedangkan, Pasal 3 ada beberapa unsur, seperti dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi; menyalahgunakan kewenangan, kesemapatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; hukuman pidananya seumur hidup atau minimal 1 tahun sampai 20 tahun penjara; dan denda dari Rp50 juta hingga 1 miliar.

Menurutnya, semua unsur kedua pasal itu memiliki permasalahan tersendiri dalam implementasinya. Tapi, Maradona mengingatkan dalam penerapan hukum pidana (korupsi) ada beberapa hal yang menjadi ukuran yakni kebenaran material, yang dihadapi adalah personal (pribadi terdakwa), kemandirian hakim di semua tingkatan peradilan, dan sistem pemidanaan. Karena itu, disparitas adalah suatu keniscayaan.

“Diskresi dan independensi hakim dalam putusan harus terjustifikasi, sehingga pedoman pemidanaan dengan variasi bentuknya digunakan negara untuk menjamin konsistensi putusan. Saya menyebutnya Perma No. 1 Tahun 2020 sebagai pengobat gejala,” kata dia.  

Mengutip Sebastian Pompe, ketika MA tidak dapat memutuskan yurisprudensinya untuk pengadilan di bawahnya, maka MA bisa menjalankan fungsi lain yakni melalui regulasi dan supervisi. “Pedoman pemidanaan perkara tipikor ini terbit sebagai pilihan rasional agar cepat diterapkan oleh hakim dibandingkan yurisprudensi.

Baginya, Perma Pedoman Pemidanaan Perkara Tipikor ini tidak mengidentifikasi (ukuran mutlak, red) majelis hakim dalam menentukan berat ringannya penjatuhan hukuman pidana. Namun, hakim juga harus menguraikan fakta dalam menjatuhkan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi.

Tags:

Berita Terkait