Insentif "Super Tax Deduction" Dikhawatirkan Sepi Peminat
Berita

Insentif "Super Tax Deduction" Dikhawatirkan Sepi Peminat

Insentif ini dianggap belum dibutuhkan pelaku usaha sehingga dikhawatirkan sepi peminat. Ada kekhawatiran insentif ini dilakukan tanpa melalui proses kajian.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

"Kami harap-harap cemas mudah-mudahan tidak berujung pada cerita sedih sebelumnya. Regulasi bagus tapi syaratnya sulit dan tidak bisa diimplementasikan dueable dan masuk akal," jelasnya.

 

(Baca: Revisi Aturan Pajak Terbaru, Berikut Daftar Investasi Dapat Relaksasi)

 

Di sisi lain, dia menyambut positif kebijakan ini karena industri memerlukan SDM yang sesuai dengan kebutuhan produksi. Dia menilai ketersediaan SDM lulusan pendidikan formal seperti sekolah menengah kejuruan dan politeknik belum mampu memenuhi permintaan dunia usaha. Hal ini disebabkan pengajaran jalur pendidikan tersebut tertinggal dibandingkan perkembangan teknologi dan dunia usaha.

 

"Kami sangat senang. Bicara soal ini khususnya skill development, SDM merupakan salah satu pilar. Survei Apindo dari 700 perusahaan tidak hanya 5 persen kebawah yang melakukan pelatihan dan peningkatan SDM-nya. Ini sangat rendah karena costly. Hanya perusahaan gede yang bisa karena sangat besar budget untuk pelatihan," jelasnya Agung.

 

Dalam kesempatan sama, pakar ekonomi, Faisal Basri mengkhawatirkan kebijakan insentif ini muncul tanpa kajian. Sebab, alasan utama pemerintah untuk menggenjot investasi tidak tepat mengingat iklim arus modal masuk masih tinggi dibandingkan negara lain.

 

Kemudian, peranan industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah. Terlebih lagi minat tenaga kerja pada sektor tersebut juga cenderung menurun. Sehingga, insentif ini diaggap tidak implementatif.

 

"Sebenarnya tidak ada yang salah dengan investasi karena Indonesia masih tinggi dibanding negara lain. Selain itu, minat tenaga kerja juga cenderung mengarah sektor jasa seperti jadi pengacara, pedagang atau start up. Saya khawatir diagnosis kebijakan ini salah sebab peranan industri terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah," jelas Faisal.

 

Menurutnya, pemerintah seharusnya membenahi aspek regulasi dan institusi karena kedua hal tersebut merupakan persoalan utama penghambat bisnis dunia usaha. Dia mencontohkan pada sektor usaha industri tepung yang terikat dengan sekitar 70 peraturan. Selain itu, berbagai rencana pengaturan pemerintah juga dianggap tidak mendukung iklim usaha.

Tags:

Berita Terkait