Jaksa dan Implementasi Pidana Pengawasan di KUHP Baru
Kolom

Jaksa dan Implementasi Pidana Pengawasan di KUHP Baru

Usulan untuk perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah soal prosedur pengurangan atau perpanjangan masa pengawasan.

Bacaan 5 Menit

Pengaturan pidana pengawasan mencegah terpidana dari pengaruh negatif lingkungan penjara yang terkadang justru menjadi “sekolah kejahatan” (prison as a criminal school). Lingkungan penjara dapat memperburuk perilaku terpidana dan meningkatkan kemungkinan residivisme. Tingkat residivisme di Indonesia cukup tinggi pada tahun 2020. Dari total 268.001 tahanan dan narapidana, tingkat residivisme di Indonesia mencapai 18,12 persen (Kemenkumham, 2020).

Penerapan pidana pengawasan mengamanatkan adanya pemenuhan syarat umum dan/atau syarat khusus oleh terpidana. Syarat umum melibatkan komitmen terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi—komitmen terhadap perubahan perilaku dan pencegahan residivisme. Di sisi lain, syarat khusus lebih bersifat restoratif dan rehabilitatif. Terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana dan/atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan tetap memperhatikan kemerdekaan beragama, kepercayaan, dan berpolitik. Ini jelas diatur dalam Pasal 76 ayat (2) dan (3) KUHP Baru.

Pidana pengawasan memberikan peluang bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya tanpa harus berada di dalam penjara. Sekali lagi, jenis pidana ini sejalan dengan konsep paradigma pemidanaan modern untuk mewujudkan keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. KUHP Baru memang menempatkan pidana penjara sebagai alternatif paling akhir. Jenis pidana yang lebih ringan didahulukan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.

Jika terpidana melanggar syarat umum dalam melakukan tindak pidana, maka wajib menjalani pidana penjara. Lamanya tidak boleh melebihi ancaman pidana penjara yang berlaku untuk tindak pidana yang dilakukannya. Ini diatur dalamPasal 76 ayat 4 KUHP Baru.

Jika terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, maka Jaksa—berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan—mengusulkan kepada Hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh Hakim. Lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan. Ini diatur dalamPasal 76 ayat 5 KUHP Baru.

Lalu, jika terpidana menunjukkan kelakuan baik selama masa pengawasan, maka Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada Hakim. Keputusan pengurangan atau perpanjangan masa pengawasan—beserta tata cara dan batasannya—diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah.

Peran Jaksa dalam Implementasi

Penyusunan Peraturan Pemerintah itu harusnya memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang menempatkan Jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan dalam perkara pidana. Pasal 270 KUHAP dan Pasal 54 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pelaksana putusan pengadilan perkara pidana dilakukan oleh Jaksa. Lebih lanjut, Pasal 30 ayat (1) huruf c UU No.11 Tahun 2021 jo. UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. Ini menunjukkan peran Jaksa di Indonesia sebagai executive ambtenaar, yaitu pelaksana putusan pengadilan termasuk pengawas dalam pidana pengawasan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait