Jangan Setengah Hati
Editorial

Jangan Setengah Hati

Semangat merevisi UU ITE setidaknya mirip pada saat pemerintah mengegolkan omnibus law UU Cipta Kerja.

RED
Bacaan 3 Menit
Jangan Setengah Hati
Hukumonline

Rencana merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus segera terealisasikan. Jika rencana ini dianggap penting, Presiden Joko Widodo harus segera mengeluarkan Perppu UU ITE sebagai dasar desakan segera merevisi undang-undang bersama Pemerintah dan DPR. Presiden dan seluruh jajarannya harus satu suara seperti halnya bersemangat saat mengegolkan omnibus law UU Cipta Kerja akhir tahun lalu menjadi undang-undang.

Jangan ada tafsiran berbeda di internal pemerintah mengenai rencana revisi, seperti yang diungkapkan Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa sebaiknya dibuat pedoman interpretasi resmi UU ITE. Pernyataan tersebut terlihat bahwa di internal Pemerintah terlihat rencana Revisi UU ITE masih setengah hati. Belum satu suara. Apalagi, pedoman hanya dikeluarkan dari sisi pihak pemerintah saja, di mana masih menimbulkan perbedaan tafsir atas klausul-klausul pasal yang ada.

Suara yang sama juga penting agar rencana revisi dan menyehatkan indeks demokrasi di Indonesia seperti memberikan kebebasan berpendapat kepada masyarakat luas bisa membaik. Sejumlah pasal yang bisa membungkam masyarakat dalam menyampaikan kritikan mesti diubah. Jangan lagi ada pasal karet yang bisa membuat masyarakat sipil, aktivis, akademisi hingga jurnalis dengan mudah terjerambab dalam pasal-pasal UU ITE.

Sebagaimana data yang dikutip dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) bahwa sepanjang tahun 2020, sebanyak 35 kasus masyarakat terjerat pasal karet UU ITE. Pasal yang kerap kali dilaporkan paling banyak adalah Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Namun jauh sebelum 2020, korban dari UU ITE sudah banyak yang berjatuhan di luar dua pasal tersebut. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran konten yang memuat kesusilaan. Seorang guru bernama Baiq Nuril menjadi korban pelecehan seksual atasannya pada 2012 silam harus menghadapi rentetan hukum dalam hidupnya. Baiq dijerat pasal tersebut karena merekam percakapan dengan atasannya yang berbau kesusilaan saat itu.

Mengenai kabar bohong, Pasal 28 ayat (1) UU ITE juga banyak dipergunakan untuk menjerat para korban. Sejak undang-undang ini terbit pada tahun 2008 silam, peningkatan kasus terkait pasal-pasal karet di UU ITE terus terjadi. Berdasarkan data SAFENet, dari tahun 2008 hingga sekarang, tahun 2016 merupakan puncak banyaknya kasus yang menggunakan jeratan pasal UU ITE yakni mencapai 83 kasus.

Berkaca dari rentetan kasus hukum yang pernah terjadi, revisi UU ITE bisa disusun dengan melihat perkara-perkara yang pernah terjadi sehingga masalah hukum serupa tak terjadi lagi ke depannya. Pentingnya masukan masyarakat atas sejumlah pasal yang dapat membungkam kebebasan berpendapat harus jadi catatan pemerintah dan DPR dalam merevisi UU.

Satu per satu dari pasal yang berpotensi bermasalah dalam UU ITE saat ini, segera dikaji. Pelibatan pihak independen untuk mengkaji UU ITE merupakan sebuah keharusan. Selain koalisi masyarakat serta akademisi, para advokat juga bisa diundang sebagai bagian dari profesional hukum yang kerap menemukan persoalan hukum seperti ini dalam tugasnya sehari-hari.

Jika hal ini dilakukan khazanah kajian UU ITE akan lebih lengkap dan sempurna. Sudut pandang dari segala arah bisa terakomodir. Meski begitu, hitung lebih banyak mana antara manfaat atau mudharatnya. Pemberian kesempatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atas pasal-pasal yang diduga bermasalah dalam UU ITE menjadi ruh dalam perumusan revisi. Aspirasi ini penting agar revisi menjadi kaya akan masukan sehingga jeratan yang mengungkung kebebasan berpendapat pada masa lalu tak terjadi lagi ke depannya.

Tags:

Berita Terkait