Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak
Hukum Perkawinan Kontemporer

Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak

Sebelum ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penuntut umum pernah menggunakan Pasal 304 KUHP untuk menjerat suami yang tak beri nafkah.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Tak Menghapus Pidana

Tindakan meninggalkan istri tanpa memberi kabar dan memberi nafkah setelah pernikahan sah juga bisa mengantarkan seorang suami ke meja hijau. Tersebutlah seorang suami yang pergi tanpa pamit begitu selesai pesta perkawinan. Alih-alih memberi nafkah, suami justru kabur tak kembali lagi. Yang terjadi kemudian adalah permohonan cerai talak di Pengadilan Agama.

 

Pengadilan Agama mewajibkan suami membayar uang iddah, mut’ah, masa lampau, dan biaya melahirkan sebesar Rp8 juta. Putusan perceraian di Pengadilan Agama itu tak menghalangi proses pidana. Si suami diajukan ke meja hijau. Penuntut umum menggunakan Pasal 49 huruf a jo Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT dan menuntut hukuman enam bulan penjara. Hakim PN Bima menjatuhkan hukuman separuhnya dan terdakwa tak perlu menjalani hukuman itu dalam masa percobaan enam bulan.

 

Perkara pidana penelantaran istri itu berlanjut ke kasasi. Dalam putusan kasasi No. 2387 K/Pid.Sus/2015, majelis hakim agung memutuskan menolak permohonan kasasi pemohon. Salah satu pertimbangan yang menarik dalam putusan ini adalah alasan tidak menghapus pidana. Menurut majelis, meskipun terdakwa sudah membayar biaya iddah, mut’ah, masa lampau dan uang melahirkan, ‘kesemuanya tidak menghapus pidananya’. Dengan kata lain, membayar kewajiban yang diputuskan Pengadilan Agama, tak menghalangi Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman kepada suami yang menelantarkan isteri dan anak-anaknya.

 

Baca:

 

Pasal 304 KUHP

Sebelum UU PKDRT lahir, salah satu yang menarik dalam konteks ini adalah penerapan Pasal 304 KUH Pidana terhadap suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Seorang pria di Boyolali telah meninggalkan istri dan anak-anaknya sehingga ia dibawa ke pengadilan. Perkara ini sampai ke Mahkamah Agung.

 

Di Pengadilan Negeri, majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti  tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena itu, terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum. Di Mahkamah Agung (Putusan No. 1978K/Pid/1990), majelis hakim mempertimbangkan frasa ‘keadaan sengsara’ atau hulpeloze toestand dalam Pasal 304 KUH Pidana tidak terbukti. Untuk dapat dikatakan memenuhi frasa itu terdakwa harus dengan sengaja tidak menyediakan atau memberi nafkah nafkah yang dibutuhkan orang itu untuk hidup dengan kesadaran dan pengetahuan tentang ketidakmampuan orang itu untuk memperoleh sendiri nafkah, sedangkan bantuan dari keluarganya tidak bisa diharapkan.

 

Berdasarkan pemeriksaan atas fakta kasus ini teryata terdakwa tidak dapat mencukupi diri sendiri sewajarnya; sewaktu ditinggalkan, isteri dan anak-anak masuk ikut sama orang tua isteri; dan isteri bekerja sebagai PNS sehingga isteri juga harus memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 45 UU Perkawinan). Dalam amarnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi penuntut umum, membatalkan putusan PN Boyolali, dan menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya. Terdakwa pun akhirnya dibebaskan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait