Kalangan Advokat Usul Penghapusan Pasal Contempt Of Court dalam RKUHP
Utama

Kalangan Advokat Usul Penghapusan Pasal Contempt Of Court dalam RKUHP

Karena tidak tepat digunakan dalam sistem hukum di Indonesia. Diusulkan lebih baik mengatur tentang contempt of power untuk melindungi peradilan dari potensi penyalahgunaan kekuasaan kehakiman yang bersifat absolut.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Luhut mengusulkan ketimbang memuat ketentuan contempt of court, lebih baik mengatur contempt of power yang tujuannya melindungi peradilan dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim. “Ini diperlukan karena kekuasaan hakim dalam sistem hukum di Indonesia sifatnya absolut,” dalihnya.  

 

Penasihat DPP Peradin Frans Hendra Winata melihat pengaturan ancaman pidana dalam pasal contempt of court dalam RKUHP sangat tinggi. Misalnya, ancaman Pasal 285 RKUHP maksimal 7 tahun penjara. Padahal, contempt of court yang berlaku di Inggris sendiri ancaman pidananya paling lama 2 tahun penjara. Menurut Frans, ketentuan contempt of court dalam RKUHP tidak memberi batasan yang jelas, sehingga sulit untuk membedakan dengan pidana obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan.

 

Menurut Frans, contempt of court yang berlaku di Inggris ditujukan untuk melindungi hakim dari potensi serangan para pihak seperti jaksa dan pengacara. Perlindungan itu ditujukan agar hakim dapat memberikan rasa keadilan. Tapi ketentuan Pasal 281 RKUHP ini berbeda dan berpotensi jug menyasar profesi advokat yang mengkritik hakim.

 

Contempt of court yang berkembang di Inggris ini, intinya untuk mewujudkan fair trial,” katanya.

 

Direktur Eksekutif ILR Firmansyah Arifin mencatat isu pasal contempt of court di Indonesia seolah timbul dan tenggelam. Istilah ini ramai menjadi perbincangan publik ketika ada kasus penyerangan terhadap hakim. Tapi pada pokoknya contempt of court ini merupakan sarana atau cara agar institusi peradilan bisa bekerja dengan baik untuk mewujudkan keadilan. Untuk mencapai tujuan itu, menurut Firmansyah tidak perlu menggunakan ancaman pidana sebagaimana diatua dalam Pasal 281 RKUHP.

 

Firmansyah menilai ada sejumlah instrumen yang bisa dioptimalkan untuk menjaga kewibawaan peradilan dan hakim. Misalnya, ada lembaga eksternal seperti KY dan Ombudsman yang berwenang menerima laporan terkait kinerja pengadilan dan menjaga kewibawaan hakim. Bahkan, ILR mencatat ada 18 hakim yang mengadu ke KY karena merasa diganggu. Selain itu, dalam RUU Jabatan Hakim, ada bab khusus yang memberikan perlindungan kepada hakim.

 

“Mekanisme yang ada sudah memberi perlindungan yang cukup bagi hakim, sehingga tidak perlu lagi ancaman pidana sebagaimana diatur Pasal 281 RKUHP,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait