Kasus Jubir KY Harusnya Diselesaikan Melalui Dewan Pers
Berita

Kasus Jubir KY Harusnya Diselesaikan Melalui Dewan Pers

Jika narasumber mudah dikriminalkan akan menjadi preseden buruk terhadap dunia pers Indonesia.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin (paling kiri), Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani (paling kanan) dalam diskusi publik bertajuk 'Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita' di Jakarta, Selasa (12/4). Foto: AID
Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin (paling kiri), Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani (paling kanan) dalam diskusi publik bertajuk 'Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita' di Jakarta, Selasa (12/4). Foto: AID

Kasus potensi dugaan kriminalisasi terhadap Juru Bicara Komisi Yudisial (Jubir KY) Farid Wajdi terkait pernyataannya di media nasional, Rabu (12/9), yang menyebut ada pungutan liar saat pertandingan tenis warga pengadilan di Denpasar mendapat sorotan sejumlah aktivis/pemerhati media. Sebab, kriminalisasi dalam pemberitaan media tak hanya kepada medianya, tetapi saat juga bergeser ke narasumbernya.       

 

Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Ancaman Kriminalisasi Narasumber dalam Berita” di Jakarta, Selasa (12/4/2018). “Jangan sampai terjadi kriminalisasi terhadap narasumber yang bisa berdampak pada keengganan masyarakat (menjadi narasumber) memberikan pendapatnya di media massa. Ini bisa menjadi preseden buruk dalam dunia pers kita,” kata Ade. Baca Juga: Hakim Agung Dkk ‘Polisikan’ Jubir KY, Begini Pandangan Pakar

 

Kriminalisasi terhadap narasumber terjadi dalam kasus Prita Mulyasari, media Tirto yang menurunkan tulisan yang membongkar praktik mafia ijazah palsu. Terakhir, kasus yang dialami Juru Bicara KY Farid Wajdi yang dilaporkan hakim agung Syamsul Maarif dan sejumlah hakim serta Ketua Pengadilan Tinggi Cicut Sutiarso ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, pernyataan Farid soal adanya dugaan pungutan liar sebesar Rp150 juta saat pertandingan tenis warga pengadilan di Denpasar dianggap sebagai fitnah dan pencemaran nama baik.             

 

Pernyataan Farid yang dikutip Kompas berjudul “Hakim di Daerah Keluhkan Iuran” pada 12 September 2018 ini. Dalam berita itu, Farid menyebutkan adanya keluhan dari sejumlah hakim di daerah yang merasa terbebani dengan iuran untuk membiayai kejuaraan nasional tenis beregu memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung. Ia dilaporkan atas dugaan tindak pidana penistaan, pencemaran nama baik melalui media cetak dan online seperti diatur Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 huruf a ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE dan/atau Pasal 311 KUHP dan/atau Pasal 310 KUHP.

 

Ade menilai pernyataan narasumber yang sudah diolah dan kemas sebuah pemberitaan dikategorikan sebagai karya jurnalistik. Sebab, penyusunan pemberitaan di sebuah media biasanya sudah melalui prosedur dan kode etik jurnalistik. “Seharusnya dalam kasus ini diselesaikan melalui sengketa jurnalistik di Dewan Pers sesuai UU Pers, bukan malah melaporkan ke kepolisian dengan tuntutan pemidanaan (KUHP),” kata dia.

 

Terlebih, kata dia, Dewan Pers dan Polri telah membuat nota kesepahaman (MoU) dengan No. 2/DP/MoU/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Dalam MoU ini, apabila terdapat sebuah laporan mengenai suatu pemberitaan, kepolisian terlebih dahulu memberitahukannya kepada Dewan Pers, sehingga Dewan Pers akan menilai apakah sebuah berita tersebut telah memiliki niat yang tidak baik atau tidak.

 

Lagipula, perlindungan terhadap narasumber, sebenarnya dapat dilakukan dengan hak jawab dari pihak yang merasa dirugikan terhadap pemberitaan tersebut. “Bukan malah langsung melaporkannya ke kepolisian. Jadi, ada proses panjang yang dilalui (dalam sengketa pers), tidak langsung dapat dipidanakan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait