Kebijakan Impor Produk Hortikultura Dikritik
Aktual

Kebijakan Impor Produk Hortikultura Dikritik

YOZ
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Impor Produk Hortikultura Dikritik
Hukumonline

Dengan dalih untuk menjaga stabilitas harga sekaligus merdam dampak kenaikan BBM, pemerintah lagi-lagi membuka pintu impor untuk 13 produk hortikultura dengan dikeluarkannya Surat Persetujuan Impor (SPI) untuk semester II tahun 2013. Total impor ke 13 produk hortikultura tersebut sebanyak 260.064 ton.

Dibukanya (kembali) keran impor makin meningkatkan impor produk hortikultura Indonesia. Pada tahun 2010 impor hortikultura sebesar 1,5 juta ton dengan nilai 1,2 miliar USD meningkat menjadi 2,05 juta ton dan nilainya 1,6 miliar USD pada tahun 2011. Sementara pada tahun 2012 volume impor menembus angka 2,2 juta ton dengan nilai perdagangan 1,8 miliar USD.

“Naiknya angka impor ini menyebabkan neraca perdagangan hortikutura Indonesia negatif,” kata Manager Advokasi dan jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, Senin (1/7).

Menurutnya, tahun 2010 neraca volume dan nilai perdagangan defisit sebesar 1,1 juta ton dan 902 juta USD. Tahun 2011, defisit 1,6 juta ton dan 1,1 miliar USD. Adapun tahun 2012, untuk periode November-Desember saja sudah defisit 1.7 juta ton dengan neraca nilai perdagangannya sebesar -1.3 miliar USD.

Bertambahnya impor produk hortikultura jelas akan memberikan tekanan pada produk petani. Harga produk hortikultura petani akan tertekan karena umumnya produk impor mendapat subsidi impor dari negera asal sehingga harganya lebih murah. Hampir setiap tahun secara berulang-ulang fenomena hancurnya harga produk hortikultura petani terjadi.

“Kentang, wortel, cabai, dan bawang produksi petani merupakan contohnya,” ujar Said.

Namun apa yang dilakukan pemerintah? Alih-alih memberikan proteksi dan insentif bagi petani agar terus meningkatan produksi, justru menghancurkannya dengan membuka keran impor. Hal ini memberikan gambaran kalau pemerintah memang tak benar-benar berpihak kepada petani. Rendahnya produksi, gejolak harga tidaklah terjadi hanya saat ini saja, tapi sudah sangat lama. Harusnya, kata Said, kita semua belajar, mencari cara baru, membuat terobosan bukan mengulang-ngulang resep yang sama yang justru makin memperlemah produksi dalam negeri.

Said mempertanyakan, dengan memilih impor apakah betul harga dapat stabil. “Bukankah harga dibentuk oleh pasar,” katanya.

Tags: