Kejaksaan Agung Tak Anggap Serius Putusan IPT 1965
Berita

Kejaksaan Agung Tak Anggap Serius Putusan IPT 1965

Kejaksaan Agung menyatakan akan tetap mengacu pada kerangka UU yang ada di Indonesia, bukan negara lain.

ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Putusan majelis hakim International People Tribunal (IPT) 1965, di Den Haag, Belanda tidak terlalu diambil pusing oleh pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung menyatakan kasus pelanggaran HAM 1965, putusan akhirnya ada pada Pemerintah Republik Indonesia.

"Kita tetap patuhi peraturan di Indonesia, Undang-Undang kita sudah jelas," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Muhammad Rum di Jakarta, Kamis (21/7).

Rum menegaskan pihaknya tetap mengacu pada kerangka UU yang ada di Tanah Air, yakni, UU tentang Hak Asasi Manusia dan UU tentang Peradilan Umum. Persoalan HAM sendiri, kata Rum, ada mekanismenya seperti melalui Komnas HAM, kejaksaan kemudian ke pengadilan. "Kita tidak mengikuti kerangka hukum (negara lain)," tegasnya.

Sebelumnya, Koordinator IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.

Laporan itu merupakan temuan pelanggaran HAM berat dalam wujud 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.

Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut meliputi; Pertama, pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.

Keenam, kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.

Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.

Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan. Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.

"Para pegiat IPT 1965 akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk menyosialisasikan putusan ini. Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss, kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia," kata Nursyahbani.

Sidang IPT 1965 dilakukan di Den Haag, Belanda pada 10-13 November 2015, dan dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob, pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.

Tags:

Berita Terkait