Kerahasiaan Informasi di Internet
Kolom

Kerahasiaan Informasi di Internet

Beberapa waktu lalu di Amerika Serikat terjadi polemik mengenai pengawasan terhadap kegiatan di internet. Polemik ini bermula dari dipublikasikannya suatu sistem penyadap e-mail milik Federal Bureau of Investigation (FBI) yang dinamakan Carnivore (http://www.fbi.org )

Bacaan 2 Menit

Apabila peraturan yang memberi kewenangan pada Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris tersebut benar-benar diterapkan, maka kepentingan negara-negara lain atas kerahasiaan informasi, termasuk Indonesia, akan turut terpengaruh.

Di satu sisi, tindakan preventif yang dilakukan berdasarkan peraturan tersebut mungkin efektif untuk mencegah cybercrime.  Namun di sisi lain, siapa yang bisa menjamin bahwa kewenangan tersebut tidak disalahgunakan untuk mengumpulkan informasi rahasia milik negara lain melalui jaringan internet.

Regulasi di Indonesia

Menurut PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, internet dimasukan ke dalam jenis jasa multimedia, yang didefinisikan sebagai penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis teknologi informasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan mengenai internet termasuk di dalam rezim hukum telekomunikasi.

Undang-Undang  No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang baru mulai berlaku pada 8 September 2000, mengatur beberapa hal yang berkenaan dengan kerahasiaan informasi. Antara lain Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi (a) akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau (b) akses ke jasa telekomunikasi; dan atau (c) akses ke jaringan telekomunikasi khusus. Bagi pelanggar ketentuan tersebut diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp600 juta.

Kemudian Pasal 40 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut, diancam pidana penjara maksimal 15 tahun penjara.

UU Telekomunikasi juga mengatur kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya (Pasal 42 ayat 1). Bagi penyelenggara yang melanggar kewajiban tersebut diancam pidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta.

Namun, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merekam informasi tersebut serta dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian RI untuk tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahun ke atas, seumur hidup atau mati. Permintaan dapat juga diajukan oleh penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, seperti misalnya tindak pidana yang sesuai dengan UU Psikotropika, UU Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: