Terhadap isi putusan itu, ada pendapat lain dari praktisi hukum kekayaan intelektual, Ari Juliano Gema. Menurut Ari, jika obyek harta gono gini adalah royalti, maka tidak bisa dilepaskan dari kepemilikan hak cipta. Royalti merupakan hak ekonomi yang bisa dinikmati oleh pencipta, hak cipta ini bisa dialihkan ke pihak lain oleh pencipta, sementara hak moral melekat seumur hidup kepada si pencipta. Maka dengan itu, Ari menilai hak cipta tak bisa secara otomatis menjadi harta bersama, meski lagu-lagu itu diciptakan dalam ikatan pernikahan.
Jika ternyata kepemilikan hak cipta masih menjadi sengketa, seharusnya PA Jakarta Barat tidak berwenang untuk memutus gugatan royalti sebagai bagian dari harta gono gini. Apalagi dalam konteks ini, Virgoun merasa keberatan atas pembagian royalti tersebut dan sudah mengajukan banding. Dia menyebut bahwa hak cipta tidak bisa otomatis menjadi harta bersama.
Kedudukan kepemilikan perlu diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam pasal 95 UU Hak Cipta. Putusan Pengadilan Niaga tersebutlah nantinya yang bisa dibawa ke PA Jakarta Barat untuk ditetapkan sebagai harta bersama. Akan berbeda statusnya jika si pencipta mengakui bahwa lagu tersebut merupakan hak bersama, sehingga bisa langsung ditetapkan oleh PA tanpa putusan Pengadilan Niaga.
“Seharusnya kepemilikan hak cipta tersebut diselesaikan dulu, yaitu melalui Pengadilan Niaga sesuai ketentuan UU Hak Cipta, apakah benar dalam penciptaan lagu itu ada kontribusi pihak istri. Karena ada perselisihan mengenai kepemilikan hak cipta. Kalau sudah clear mengenai kepemilikan, apakah bersama atau kalau memang sudah clear jadi milik bersama, baru ditetapkan di PA sebagai harta bersama,” tegas Ari yang juga Partner pada kantor hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP).