Ketua Kamar Pidana MA Ini Beberkan Seluk Beluk Penanganan TPPO
Utama

Ketua Kamar Pidana MA Ini Beberkan Seluk Beluk Penanganan TPPO

Dalam banyak kasus TPPO kerap terlambat dalam identifikasinya, baru dapat diketahui setelah akibat dari kasus itu muncul.

CR-28
Bacaan 4 Menit

Dia melanjutkan terkadang ada kondisi ketika seorang pelaku TPPO membawa korbannya keluar daerah untuk dieksploitasi, tapi belum didapat akibat dari perbuatannya itu. Namun, sudah terpenuhi unsur-unsur deliknya (secara formil, red). Akan tetapi, jika terjadi eksploitasi secara seksual dalam proses itu, maka delik yang terjadi berubah menjadi delik materiil. Hal ini harus dibuktikan dalam persidangan adanya akibat dari eksploitasi itu.

Dengan demikian, dalam praktik penerapan UU TPPO secara keseluruhan bukan melulu delik formil. Dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 6 UU TPPO, masih terdapat kemungkinan menjadi delik materiil. Ada delik-delik tertentu yang dapat terklasifikasi sebagai delik materiil. “Ini membutuhkan pembuktian bahwa betul terdapat akibat. Jadi tidak perlu memikirkan ini delik materiil atau formil. Tetapi bagaimana selesainya delik itu, apakah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal yang bersangkutan." 

Menurut Suhadi, apabila ditemui adanya unsur persetujuan korban TPPO, hal tersebut tidak secara serta-merta (otomatis) menghapuskan penuntutan terhadap pelaku TPPO sebagaimana diatur Pasal 26 UU TPPO. Selain itu, Pasal 27 UU TPPO disebutkan pelaku TPPO akan kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.

Saat ini tengah berkembang isu mengenai penagihan restitusi kepada pelaku TPPO atas korbannya. "Mengenai peraturan restitusi ini sekarang masih di-godog MA terutama restitusi yang diajukan ketika perkara sudah berkekuatan hukum tetap. Diharapkan adanya kemauan (iktikad, red) baik dari pelaku itu terhadap korban, nanti ketika ini bisa terlaksana, hukumannya akan bisa lebih rendah terhadap pelaku yang sudah membayar restitusi.”

Deputy Chief of Mission IOM Indonesia, Theodora Suter, menjelaskan desakan melakukan penguatan dalam penanganan dan penindakan TPPO semakin kuat walaupun dihadapkan pada kompleksitas bentuk kejahatan yang menimbulkan tantangan dalam penanganannya. “Sudah 14 tahun berlakunya, UU 21/2007 masih menemui berbagai tantangan dalam implementasinya, sehingga menyebabkan penegakan hukum belum maksimal,” kata Theodora.

Dia melihat pandemi Covid-19 mengubah modus dalam perekrutan pekerja. Perekrutan semakin mudah karena memanfaatkan teknologi informasi, seperti media sosial. “Pandemi Covid-19 mengubah kebiasan orang, media online digunakan untuk merekrut dan eksploitasi orang,” bebernya. 

Namun, dia mengapresiasi komitmen Indonesia untuk memperkuat penegakan hukum dalam penanganan perkara TPPO. Misalnya, kehadiran Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, mengharuskan hakim memiliki perspektif kesetaraan gender dan berbagai pertimbangan dalam memutus perkara TPPO. Perma 3/2017 dinilainya mampu menerapkan proses persidangan TPPO lebih baik dan berperspektif pada korban.

“Risiko kejahatan TPPO dapat terjadi secara luas baik pada laki-laki atau perempuan, dewasa ataupun anak-anak. Para korban dieksploitasi dalam berbagai bidang, termasuk pekerjaan domestik, industri hiburan, konstruksi, pariwisata, dan pekerjaan seks, kehutanan, perikanan, pertambangan, dan lainnya.”

Tags:

Berita Terkait