​​​​​​​Kisah Maria Ulfah dan Buku Indonesia Klaagt Aan
Tokoh Hukum Kemerdekaan

​​​​​​​Kisah Maria Ulfah dan Buku Indonesia Klaagt Aan

Ada referensi yang menyebutnya sebagai perempuan Indonesia pertama yang membuka kantor pengacara praktik. Dalam usia 18 tahun Maria Ulfah sudah kuliah hukum di Belanda.

Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit

Dalam biografi, Maria Ulfah Subadio, Pembela Kaumnya, yang ditulis Gadis Rasid (1982), tertulis bahwa Maria Ulfah adalah sarjana hukum pertama perempuan Indonesia yang lulus dari Fakultas Hukum Universitas Leiden. Namun tidak berarti, Maria Ulfah menjadi perempuan pertama yang kuliah di sana. Adik pahlawan nasional Dr Soetomo, bernama Siti Soendari, lebih dahulu kuliah bidang hukum di Leiden. Di luar bidang hukum, ada juga perempuan Indonesia yang sedang studi di Belanda, misalnya Soegiarti yang sedang mengambil ijazah akta mengajar atau hoofdacte (kemudian menjadi isteri Sutan Takdir Alisjahbana); dan Ida Haroen al-Rasyid yang sedang belajar kedokteran. Maria Ulfah sangat dekat dengan Siti Soendari seperti tertulis dalam biografinya tersebut.

“Selama di Leiden, Maria dan Siti Soendari sarapan bersama-sama di kamar Maria Ulfah. Makan siang dan makan malam di sebuah kantin yang disediakan untuk mahasiswa di club khusus mahasiswa. Hari minggi dan hari-hari libur kantin ini tutup. Pada hari-hari itu terpaksa mereka masak sendiri. Kerjasama semacam ini rupanya dianggap berhasil, sebab setelah mereka dua-dua kembali di Tanah Air, hidup bersama ini diteruskan. Mereka menyewa sebuah rumah kecil di Salemba Tengah (dulu Struiswijkstraat namanya)”.

Poeze mencatat dalam bukunya bahwa Maria tidak pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia. Salah satu alasannya, apabila ia menjadi anggota organisasi pergerakan itu, kedudukan ayahnya dapat terancam bahaya. Tetapi bukan berarti ia tidak terlibat sama sekali. Setelah kembali ke Indonesia, ia menjadi salah satu tokoh perempuan yang kemudian diangkat menjadi Menteri Sosial pertama. Adalah Sjahrir yang menarik Maria ke pusaran politik. Rudolf Mrazek, penulis biografi Sjahrir, menulis bahwa Maria Ulfah adalah ‘sahabat Sjahrir’ yang sewaktu tinggal di negeri Belanda sering bersama Sjahrir mendengarkan kuliah-kuliah politik Jef Las, menghadiri pertemuan Liga Anti-Kolonialisme, menonton konser dan film. Di awal-awal kemerdekaan, Sjahrir dan Maria terlibat di Komisi Kebudayaan, yang antara lain mengurusi bahasa Indonesia.

Seperti Maria Ulfah, kala itu Sjahrir juga sedang belajar hukum di Amsterdam (akhirnya tidak selesai). Mereka sering berdiskusi. Mereka bukan hanya sahabat. Maria Ulfah banyak berguru kepada Sjahrir, belajar tentang arti penting nasionalisme dan perjuangan yang selama ini tak banyak menarik perhatiannya. Tenaga dan pikirannya telah ia sumbangkan menjelang kemerdekaan, khususnya ketika ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Baca:

Buku Indonesia Klaagt Aan

Seperti dibayangkan Maria Ulfah, kuliah hukum bisa lebih cepat selesai dibandingkan studi kedokteran. Untuk menyelesaikan studinya dengan cepat, Maria tekun belajar sambil mengikuti pergerakan kemerdekaan meskipun tak tercatat sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda. Ia banyak membaca buku.

Salah satu bacaan yang sangat disukai dan berkesan bagi Maria Ulfah adalah buku Indonesia Klaagt Aan. Buku ini dia beli di toko buku Dubbeldeman. Cover buku itu dihiasi lukisan dengan desain merah putih bergambar Jenderal van Heutsz yang menaklukkan Aceh dengan latar gambar korban pertempuran di Aceh. Buku ini sebenarnya berisi pembelaan Bung Karno sewaktu diadili di Landraad, Bandung. Orang Indonesia kemudian mengenal buku itu dengan judul Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di depan Pengadilan Kolonial Bandung, 1930. Ketika Maria Ulfah membelinya baru tersedia versi bahasa Belanda. “Saya tertarik pada pembelaan Bung Karno itu karena bukan Soekarno menggugat, tetapi Indonesia menggugat”, tulisnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait