Komunitas Tuna Netra Gugat UU Pemilu
Berita

Komunitas Tuna Netra Gugat UU Pemilu

Komunitas penyandang tuna netra merasa kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu 2014 akibat ketidakjelasan penafsiran alat bantu tuna netra.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Tak tersedianya dukungan perlengkapan pemungutan suara yang memadai, sejumlah komunitas penyandang disabilitas tuna netra mengajukan uji materi Pasal 142 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif.

Tercatat sebagai pemohon, Ketua Ikatan Alumni Wyata Guna Suhendar, Ketua Umum DPP Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (IPMI) Yayat Ruhiyat, Ketua DPW IPMI Jawa Barat Yudi Yuspar, Ketua Persatuan Olahraga Tuna Netra Indonesia (PORTI) Jawa Barat Yadi Sophian, Ketua DPC Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) Bandung Wahyu Hidayat, dan Ketua DPD PERTUNI Jawa Barat Putre Wihoho.

Komunitas Penyandang tuna netra itu merasa kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu 2014 lalu akibat ketidakjelasan penafsiran alat bantu tuna netra dalam pasal itu. seperti, tidak tersedianya surat suara dalam bentuk template Braille.

“Pasal 142 ayat (2) UU Pemilu Legislatif menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir, ini berakibat penyelenggara pemilu bertindak tanpa memperhatikan keadaan penyandang disabilitas tuna netra,” ujar salah satu kuasa hukum para pemohon, Asri Vidya Dewi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Aswanto, di ruang sidang MK, Rabu (27/8). Aswanto didampingi M. Alim dan Arief Hidayat sebagai anggota majelis.

Pasal 142 berbunyi, “…Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara diperlukan dukungan perlengkapan lainnya.” Penjelasannya menyebutkan yang dimaksud dengan dukungan perlengkapan lainnya meliputi sertifikat, stiker kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda, dan alat bantu tuna netra.

Asri memaparkan para pemohon pernah mengirimkan surat kepada KPU pada 12 Maret 2014 terkait tidak adanya template Braille dalam Pemilu Legislatif 2014. Namun, KPU melalui suratnya tertanggal 4 April 2014 menyatakan secara teknis sulit membuatkan lebar kolom nama calon anggota legislatif dalam bentuk huruf Braille.

“Ini akibat tidak disebutkan secara konkrit perlengkapan dan perangkat pemilu, sehingga penyelenggara pemilu bebas menafsirkan yang tidak sesuai dengan kebutuhan penyandang tuna netra,” paparnya.

Menurut dia, jika Pasal 142 ayat (2) UU Pemilu Legislatif dapat ditafsirkan secara jelas menyebut alat bantu tunanetra adalah template Braille, kejadian yang dialami para pemohon tentu tidak akan terjadi. Kalaupun penyandang tuna netra menggunakan hak pilihnya, hal itu mengesampingkan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia dalam memilih. 

“Seperti di Wyata Guna Bandung ada sekitar 200 lebih penyandang cacat, hanya sekitar 30 penyandang cacat yang menggunakan hak pilihnya. Ini akibat dari ketidakjelasan alat bantu tuna netra dalam penjelasan Pasal 142 ayat (2) itu yang men-generalisir kemampuan fisik setiap warga negara,” tuturnya.      

Karena itu, para pemohon meminta MK menafsirkan Pasal 21 ayat (2) UU Pemilu Legislatif secara konstitusional bersyarat dengan menyatakan penyelenggara pemilu menyediakan perlengkapan bagi penyandang disabilitas tuna netra dengan alat bantu tuna netra dengan template Braille.   

Anggota majelis Arief Hidayat menilai melihat bunyi Pasal 142 ayat (3) UU Pemilu yang menyebut bentuk, ukuran, spesikasi teknis, dan perlengkapan pemungutan suara lainnya diatur dengan peraturan KPU. Jadi, lanjut Arief, KPU seharusnya bisa menerjemahkan/menafsirkan alat bantu tuna netra seperti apa? “Seharusnya spesifikasi alat bantu tuna netra seperti yang anda kehendaki yaitu template Braille,” kata Arief.

“Tetapi, saya tidak tahu, kenapa penyelenggara pemilu tidak menafsirkan itu? Jadi bisa dikatakan yang salah (KPU) karena tidak adanya peraturan KPU-nya.”

Menurutnya, dia jika argumentasi ini yang dibangun pemohon, berarti kesalahan bukan pada Pasal 142 ayat (2) itu, melainkan pada tataran peraturan KPU-nya yang bukan kewenangan MK. “Kalau peraturan KPU yang salah, uji materinya ke MA,” kata Arief.

Meski begitu, dia menyarankan agar pemohon mengelaborasi lebih jauh dengan Pasal 142 ayat (3)-nya berikut penjelasan Pasal 142 ayat (2) yang mengakibatkan pemohon kehilangan hak konstitusionalnya. “Saudara harus mampu mengelaborasi permohonan ini dengan mengkaitkan seluruh Pasal 142 berikut penjelasannya agar satu ‘napas’, sehingga majelis bisa yakin,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait