KPA Ungkap Indikasi Mafia Tanah Kelas Teri-Kakap
Terbaru

KPA Ungkap Indikasi Mafia Tanah Kelas Teri-Kakap

Aktor mafia tanah umumnya mereka yang berpendidikan, berjejaring, dan bekerja dengan skala luas dan terorganisir. Para pelaku bekerja sama demi kelangsungan bisnis dan meraup keuntungan besar.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY
Sekjen KPA Dewi Kartika. Foto: ADY

Konflik agraria dan kasus pertanahan masih banyak terjadi dan sayangnya tidak mudah untuk dituntaskan. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan praktik mafia tanah dalam konflik agraria antara lain berupa persekongkolan untuk melakukan manipulasi data lapangan, pemalsuan dokumen, ancaman, intimidasi, teror dan kekerasan, hingga penerbitan hak atas tanah secara sepihak dan bersifat tertutup.

Dewi mencatat sejak dibentuk tahun 2017, Satgas Anti Mafia Tanah mengklaim telah menyelesaikan 180 kasus mafia tanah. Dia yakin kasus tersebut hanya bagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dewi mengkritik pendekatan yang dilakukan dalam pemberantasan mafia tanah masih kasuistik, tebang pilih, dan cenderung bersifat “entertained” sekedar menunjukkan ada perburuan terhadap mafia tanah.

“Tapi sebenarnya yang dilakukan itu tidak menyasar jaringan mafia tanah yang bersifat akut dan struktural, serta tidak menyelesaikan akar masalah,” kata Dewi Kartika dalam konferensi pers secara daring bertajuk “Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021 KPA”, Kamis (6/1/2022). (Baca Juga: KPA Beberkan Penyebab Tumbuh Suburnya Praktik Mafia Tanah)

Mafia tanah adalah kejahatan yang terorganisir, terstruktur, sistematis dan profesional. Praktik mafia tanah tidak pernah bekerja sendiri, modusnya berulang di banyak kasus. Aktor mafia tanah umumnya mereka yang berpendidikan, berjejaring, dan bekerja dengan skala luas dan terorganisir. Para pelaku bekerja sama demi kelangsungan bisnis dan meraup keuntungan besar.

Mengacu dampak yang ditimbulkan, Dewi membagi mafia tanah menjadi kelas Teri dan kelas Kakap. Kasus mafia tanah kelas Teri dapat dilihat dari 6 indikasi. Pertama, pelaku utama, membuat grand design yang terdiri dari pengusaha dan petinggi pemerintah. Mereka berperan memesan serta memenuhi pesanan tanah untuk mencapai ambisi bisnisnya.

Kedua, pelaku di lapangan yang melibatkan oknum advokat, pemuka agama, pemerintah daerah, pemerintah desa, polisi/TNI, dan preman. Mereka berperan menerbitkan rekomendasi desa yang sesuai kebutuhan pengusaha, memberikan izin lokasi sepihak, memalsukan laporan mengenai kondisi penguasaan tanah, memaksa dengan cara kekerasan agar masyarakat menyerahkan tanahnya.

Ketiga, pelaku di ranah administrasi pertanahan, terdiri dari notaris/PPAT yang mengeluarkan akta tanah, AJB, pelepasan hak palsu, menjamin dan mengesahkan tanda tangan, menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan. Keempat, pelaku di kantor pertanahan, melibatkan pejabat kantor pertanahan, panitia A, B, dan C ATR/BPN yang berperan memalsukan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis, serta fisik evaluasi tanah telantar.

Kelima, pelaku di ranah penerbitan hak atas tanah (HGU, HGB, HM, HPL dan HP). Pejabat tinggi kementerian memberikan keputusan yang sebelumnya sudah dipesan oleh pengusaha, meskipun pada prosesnya melawan hukum/illegal, cacat prosedur dan lain sebagainya. Keenam, pelaku di ranah peradilan terdiri dari kepolisian, jaksa, advokat dan hakim yang berperan memenangkan gugatan pengusaha atau mengalahkan gugatan masyarakat, meski mengetahui adanya kecacatan hukum di dalamnya.

Kasus mafia tanah kelas Kakap dampak yang ditimbulkan lebih besar ketimbang mafia kelas Teri. Dewi menjelaskan ada 3 indikasinya. Pertama, pelaku di ranah kebijakan, utamanya adalah pengusaha, elit partai politik, petinggi pemerintahan, organisasi pengusaha, yang berperan bersama-sama mengatur peruntukan, pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah untuk kepentingan bisnis skala besar dan jangka panjang. Melalui penerbitan kebijakan/hukum tanpa melihat kondisi agraria, lingkungan, ekonomi dan sosial di lapangan.

Kedua, pelaku di ranah perampasan tanah meliputi pengusaha/badan hukum yang dibentuk oleh pengusaha bersama rekan-rekannya untuk mendapatkan alokasi tanah. Mereka mengeksploitasi sumber agraria atas nama HGU, izin kehutanan, izin usaha pertambangan, KEK, PSN dan lainnya. Ketiga, pelaku di ranah penegakan hukum, antara lain aparat bersenjata baik polisi dan TNI yang membantu mengamankan tanah-tanah hasil perampasan para pengusaha, memenjarakan masyarakat yang melawan atau menolak perampasan tanah.

Menurutnya, keterlibatan pejabat dari tingkat desa sampai provinsi, dan pemerintah pusat tidak mengejutkan. Selama sistem informasi pertanahan itu belum dibenahi praktik mafia tanah tidak akan lenyapi karena kondisi tersebut membuat pengawasan publik dan aparat penegak hukum menjadi sulit.

“Berdasarkan pembagian peran di atas, maka aktor mafia tanah adalah mereka yang memiliki modal, akses dan kuasa. Dengan memiliki ketiga hal tersebut, mafia tanah dapat memanfaatkan berbagai cara untuk menguasai tanah,” ujar Dewi.

Sebelumnya, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Surya Tjandra, mengakui masih ada oknum dalam Kementerian ATR/BPN yang terlibat dalam kasus mafia tanah. Hal ini terlihat dari kasus penyalahgunaan wewenang sertifikat tanah yang dihadapi oleh aktris Nirina Zubir beberapa waktu lalu yang menghebohkan publik dan menjadi pembelajaran bagi masyarakat. Kasus itu tidak hanya menyeret oknum notaris dan PPAT, namun juga beberapa oknum di Kementerian ATR/BPN. 

Dalam acara Instagram Hukumonline Headline Talks bertajuk ‘Oknum Berulah, Mafia Tanah Bikin Resah’, Senin (29/11/2021) lalu, Surya mengatakan pada tahun 2017, Kementerian ATR/BPN telah berupaya untuk membuat program strategi pendaftaran tanah. Melalui program ini telah banyak pemilik tanah yang mulai mendaftarkan tanahnya. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat pemilik tanah semakin peduli dengan haknya.

Kasus yang mencuat mengenai mafia tanah membuat Kementerian ATR/BPN kembali membuka kasus-kasus mengenai mafia tanah yang terjadi sejak tahun 2019. Kementerian ATR/BPN sudah mengadakan MoU dengan kepolisian dan pada tahun 2020 diadakan MoU juga dengan Kejaksaan. “Hal ini adalah bagian dari strategi untuk membersihkan dan mengatasi kejahatan terkait pertanahan,” ujar Surya. 

Setidaknya, kata Surya, ada 69 kasus yang menjerat 125 oknum pegawai BPN dan telah diberi sanksi. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan jumlah pegawai BPN yang mencapai 37 ribu, 125 oknum pegawai BPN tersebut relatif kecil. Meski demikian para pelaku tetap ditindak tegas.

Dikatakan Surya, selain oknum ATR/BPK dan oknum notaris, ada oknum PPAT yang turut menjadi dalang di balik mafia tanah. Selain oknum di lembaga, orang-orang yang bekerja mengurus jual-beli tanah seperti kepala desa, bahkan pengadilan juga bisa menjadi oknum yang biasa ada di mafia tanah.

Tags:

Berita Terkait