KPK: Suap Masih Menjadi Modus Pelaku Usaha
Utama

KPK: Suap Masih Menjadi Modus Pelaku Usaha

KPK ingatkan tidak hanya pertanggungjawaban pribadi, tapi juga ada pidana korporasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 3 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES

Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan perilaku suap masih menjadi modus utama pelaku usaha di Indonesia. Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber dalam acara bertajuk Directorship Program: No Corruption and No Gratification Sebagai Wujud Nilai Amanah IPC, yang diselenggarakan oleh Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, bertempat di Ballroom Hotel Holiday Inn, Jakarta, Jumat (16/4).

“Berdasarkan data perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, yang melibatkan pelaku usaha, baik itu yang dilakukan pihak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagian besar perilaku korupsi dari pelaku usaha itu berupa penyuapan,” sebut Direktur AKBU KPK Aminudin.

Menurut data tersebut, sejak 2004 sampai Desember 2020, tercatat total 1.071 perkara, terdiri atas perilaku penyuapan sebanyak 704 perkara, Pengadaan Barang dan Jasa atau PBJ (224 perkara), penyalahgunaan anggaran (48 perkara), tindak pidana pencucian uang (36 perkara), perizinan (23 perkara), pemerasan (26 perkara), dan merintangi proses penindakan KPK (10 perkara).

Aminudin melanjutkan, sesuai Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas mereka. (Baca: Sejumlah Hambatan Pemerintah dalam Menagih Piutang Dana BLBI Rp110 Triliun)

Sementara, pada Pasal 12B ayat 2, kata Aminudin, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

“Suap merupakan tindak pidana bagi pemberi maupun penerima. Tapi, sanksi hukum tidak berlaku, jika penerima melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Aminudin.

Amin pun mengingatkan bahwa terkait pertanggungjawaban pidana korupsi oleh korporasi atau pelaku usaha, sejak lebih lebih empat tahun lalu sudah terbit PerMA (Peraturan Mahkamah Agung) Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 mengenai Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi dan sudah ada beberapa perkara korporasi yang ditangani KPK.

Untuk itu, sambungnya, KPK mendorong pelaku usaha mengikuti sertifikasi Ahli Pembangun Integritas (API) yang diadakan oleh KPK, serta mengaplikasikan sistem manajemen antisuap di internal perusahaan, dengan menggunakan prinsip ISO 37001 atau mengikuti pedoman KPK dalam Panduan Pencegahan Korupsi (CEK) untuk dunia usaha

Sebelumnya, saat membuka acara, Direktur Utama Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Arif Suhartono menegaskan, pihaknya selalu berusaha agar dalam pelaksanaan tugas sehari-hari selalu berpatokan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Kita ingin berperan lebih banyak dalam perbaikan sistem logistik di Indonesia. Dalam setiap proses harus melalui aturan yang benar. Kita harus menerapkan Good Corporate Governance (GCG) secara tepat. Di sinilah pentingnya berkomunikasi dan meminta masukan dari KPK, sehingga apa yang kita lakukan, meskipun tujuannya baik, bila ada proses yang tak baik hasilnya akan tak baik,” terangnya.

Arif meyakini, semua pegawai dan pemangku-kepentingan di PT Pelindo berkomitmen untuk perbaikan sistem logistik di Indonesia, dengan melaksanakan tugas secara tepat dan tidak melanggar ketentuan. 

Selanjutnya, Komisaris Utama IPC Moermahadi Soerja Djanegara meminta semua jajaran PT Pelindo II untuk mencegah korupsi dan kecurangan atau fraud di internal perusahaannya. Yang diperlukan, ucapnya, adalah komitmen semua pemangku-kepentingan PT Pelindo II.

“Korupsi dalam IPC akan menjadikan negara tidak mampu bersaing dengan negara lain, karena biaya logistik akan menjadi sangat tinggi. Karena itu, korupsi, fraud, dan lainnya, harus dicegah di perusahaan ini. IPC telah menerapkan beberapa cara untuk mencegah korupsi, yakni menetapkan amanah sebagai core value, implementasi manajemen risiko, pengendalian gratifikasi, dan penerapan Whistle-Blowing System (WBS),” urai Moermahadi.

Seringkali kita, sambung Moemahadi, dikagetkan oleh perilaku curang dari orang yang tak kita duga. Orang yang kita lihat baik, ucapnya, ternyata melakukan tindakan korupsi atau fraud yang merugikan dirinya dan perusahaannya.

Walaupun IPC sudah menerbitkan panduan Sistem Manjamen Anti Penyuapan (SMAP), tuturnya, tapi tak ada sistem yang sempurna. Untuk itu diperlukan komitmen tiap individu di IPC. Dia menegaskan, kerja sama dengan KPK sangat diperlukan.

Tags:

Berita Terkait