KPPU Diingatkan Due Process of Law dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha
Terbaru

KPPU Diingatkan Due Process of Law dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha

KPPU harus mengedepankan prinsip due process of law dalam mempertanggungjawabkan kewenangan penuh terkait proses peradilan di KPPU.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Hukumonline.com menggelar seminar secara daring dengan mengangkat tema Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Jakarta, Rabu (30/6). Foto: RES
Hukumonline.com menggelar seminar secara daring dengan mengangkat tema Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Jakarta, Rabu (30/6). Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga yang memiliki otoritas untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di sektor persaingan usaha. KPPU resmi dibentuk pada 7 Juni 2020 atas amanat dari UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam proses penegakan hukum di KPPU secara garis besar melewati lima tahapan yakni tahap pengumpulan indikasi, tahap pemeriksaan pendahuluan, tahap pemeriksaan lanjutan, tahap penjatuhan putusan dan tahap eksekusi putusan. Adapun perkara dapat berasal dari laporan masyarakat ataupun insiatif KPPU sendiri.

Berbeda halnya dengan lembaga pemberantas korupsi Komisi Pengawas Korupsi (KPK), seluruh proses hukum persaingan usaha berada dibawah kewenangan KPPU. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, persidangan hingga penjatuhan putusan dilakukan oleh KPPU. (Baca: Sejumlah Catatan Soal Pemeriksaan Keberatan Putusan KPPU di UU Cipta Kerja)

Untuk upaya hukum lanjutan atas putusan KPPU, terlapor dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Setelah rezim UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), upaya keberatan diajukan ke Pengadilan Niaga. Pengalihan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 PP No 44 Tahun 2021 jo SEMA No 1 Tahun 2021 dimana terlapor dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU sesuai jurisdiksi pelaku usaha ke Pengadilan Niaga paling lambat 14 hari kerja, setelah menerima pemberitahuan Putusan KPPU.

Dengan kewenangan menjalankan tiga fungsi peradilan di satu lembaga, banyak pihak mempertanyakan due process of law atau proses hukum yang adil di KPPU. Hal ini kemudian memicu pelaku usaha selaku terlapor mengambil langkah upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri (sekarang ke Pengadilan Niaga) karena menilai putusan KPPU tak adil. Bahkan Posisi KPPU juga dinilai dapat menimbulkan abuse of power.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Ningrum Natasya Sirait, mengatakan bahwa perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga dapat menjadi kesempatan emas bagi KPPU untuk memperbaiki dan memperkuat kualitas peradilan di KPPU. Menurutnya KPPU harus mengedepankan prinsip due process of law dalam mempertanggungjawabkan kewenangan penuh dalam proses peradilan di KPPU.

“Jika KPPU tidak merepson dengan baik due process of law, maka hasilnya juga tidak biak dan tidak benar. Integrated sistem hanya ada di KPPU, jadi dengan previlage yang dimiliki KPPU, KPPU jangan seenaknya. Kalau kita orang akademik yang kita kedepankan due process of law, bagaimana memastikan 3 fungsi berada di satu lembaga. Di KPPU komisioner ikut menyidangkan. Baru ada kejadian di tahun 2021 KPPU membuat terobosan besar dalam kasus Honda dengan berani menolak gugatan karena melihat ada pertimbangann ekonomi,” katanya dalam Webinar Hukumonline “Due Process of Law dan Upaya Hukum Terhadap Putusan KPPU Pasca Undang-Undang Cipta Kerja,” Rabu (30/6).

Dalam konteks ini KPPU harus menunjukkan due process of law dalam integrated sistem sehingga upaya keberatan yang dilakukan oleh terlapor atas putusan KPPU dapat diminimalisir. Tentunya di sisi lain KPPU harus konsisten dengan aturan yang dibuat sendiri sehingga putusan yang dihasilkan lebih kredibel.

Menurut Ningrum selama 21 tahun berdiri banyak keluhan yang datang dari publik terkait due process of law dan standard of proof yakni penerapan pembuktian oleh KPPU ketika memeriksa dan memutus perkara sesuai mekanisme hukum. Dia menilai tak ada yang salah dari integrated sistem yang diterapkan di KPPU, hanya saja KPPU melewatkan due process of law.

Putusan KPPU yang bersandar pada due process of law akan mudah ditegakkan tentunya dengan syarat konsisten dan diterapkan dengan benar. Sekaligus akan melahirkan putusan yang kredibel dimanadapat meminimalisir upaya keberatan.

“Bahkan dalam salah satu putusan KPPU itu tidak ada di pemeriksaan, tidak ada di pertimbangan, tapi keluar di putusan dan it mengagetkan. Terkait denda, siapa yang hitung denda, bagaimana menghitung, sekian persen dari keuntungan, keuntungan audited atau non audited. Kalau tidak mampu menunjukkan putusan kredibel, itu ngapain. Bagaimana menghitung denda, KPPU merespon dengan denda Rp1 miliar minimun, tapi enggak diatur maksimal, apakah menjatuhkan denda seperti dapat kartu joker, ‘khan ga bisa, dari mana datangnya angka itu tidak di atur,” ujarnya.

Ia pun kemudian meminta KPPU untuk merangkum kinerja lembaga selama 21 tahun. Hal tersebut untuk membuktikan efektivitas kinerja KPPU, apakah keberadaan KPPU memberikan impact positif terhadap ekonomi Indonesia, atau justru sebaliknya.

“UU Cipta Kerja ini jelas tujuannya untuk ekonomi Indonesia. Coba dilihat setelah 21 tahun kinerja KPPU semakin baik atau tidak, ada impact ga untuk ekonomi Indonesia. Bagaimana orang berinvestasi takut apa enggak, kita dianggap bergengsi di Asean tapi kalau ada kegelisahan KPPU harus memperbaiki diri. Integrated sistem itu berat,” imbuhnya.

Pada acara yang sama, mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki menilai bahwa sistem peradilan yang diterapkan oleh KPPU sarat dengan konflik kepentingan. Sistem peradilan di KPPU juga dinilai kurang memenuhi prinsip Imparsialitas, tidak transparan karena tidak adanya akses terlapor pada dokumen, dan dalam Proses persidangan majelis Komisi tidak memahami bagaimana beracara (pertanyaan menjerat, menyimpulkan, tendensius).

Sehingga proses keberatan menjadi penting untuk memperbaiki kekeliruan yang mungkin dilakukan oleh KPPU.

“Sekarang ini proses peradilan di KPPU tidak berjalan dengan baik, hak upaya hukum keberatan dibatasi, adalagi inkonsistensi di mana sebagian PK diterima dan sebagian tidak. KPPU harus membenahi diri, PN Niaga untuk mengadili keberatan juga dibereskan, serta upaya hukum PK tetap dibuka asalkan memnuhi syarat-syarat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait