Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Harus Sesuaikan Kebutuhan Praktik
Utama

Kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum Harus Sesuaikan Kebutuhan Praktik

Kebutuhan pendidikan tinggi hukum harus menyeimbangkan pengetahuan teoritis dengan pengetahuan baru yang didapat dari putusan-putusan pengadilan di bawah MA dan pengujian UU di MK.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi lulusan fakultas hukum. Foto: Istimewa
Ilustrasi lulusan fakultas hukum. Foto: Istimewa

Konstitusi telah memandatkan Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Untuk itu, prinsip rule of law itu harus dipegang teguh dan diimplementasikan, khususnya bagi para aparatur hukum. Untuk itu, pemahaman/pengetahuan ilmu hukum menjadi elemen penting bagi setiap aparat hukum yang mengenyam pendidikan hukum di perguruan tinggi yang mumpuni sebelumnya.

“Kita masih prihatin dengan pendidikan hukum yang berjalan. Salah satu problem di pendidikan tinggi hukum Indonesia terutama jika melihat pendidikan di jenjang S-1, seperti tidak ada ketersambungan antara ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi dengan kebutuhan hukum itu sendiri,” ujar Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra dalam pemaparan materi bertemakan “Legal Education for the Rule of Law” di Seminar Pendidikan Hukum dan Jejaring Pendidikan Hukum, Selasa (18/1/2022).

Dia menjelaskan hal tersebut bisa dilihat dari adanya disparitas antara apa yang dipelajari mahasiswa pada pendidikan tinggi hukum dengan kebutuhan hukum di masyarakat. Dalam perkembangannya, kebutuhan yang ada terus bergerak dengan cepat, sehingga satu polemik yang harus dituntaskan bagaimana cara menyesuaikan kebutuhan itu.

"Memang menyeimbangkan keduanya merupakan pekerjaan rumah yang sulit. Mengingat kurikulum bergerak sangat lambat, berbanding terbalik dengan kebutuhan hukum di masyarakat yang tiada hentinya bergerak cepat. Belum lagi untuk menjawab kebutuhan praktik membutuhkan proses jauh lebih lama."

Saldi mengaku telah berulang kali mengingatkan jajaran pendidikan tinggi hukum untuk tidak hanya terfokus pada pemberian “bekal” teoritis yang bersifat text book kepada mahasiswanya. Hal tersebut disayangkan bila tida dibarengi dengan upaya memaksa peserta didik senantiasa mengikuti perkembangan hukum yang terjadi, khususnya melalui putusan-putusan pengadilan.

“Yang hendak saya sampaikan disini, kurikulum kita sangat mengabaikan kebutuhan untuk mengikuti perkembangan hukum melalui putusan-putusan pengadilan. Kita boleh koreksi diantara para staff pengajar sekarang, seberapa sering memberi kewajiban kepada peserta ajar untuk membaca putusan-putusan pengadilan? Terutama putusan yang memiliki implikasi terhadap perkembangan ilmu hukum,” kata Saldi. 

Terlebih, jika terdapat putusan yang memiliki konsekuensi logis mengubah, memperbaiki, atau menggeser norma yang ada dalam ketentuan UU. Dalam konteks ini, timbul kebutuhan baru bagi pendidikan tinggi hukum bagaimana menyeimbangkan pengetahuan teoritis kepada mahasiswa dengan pengetahuan baru yang didapat dari putusan-putusan pengadilan.

Berkaca pada perkuliahan yang disuguhkan beberapa profesor atau tenaga pengajar asing, mereka selalu menyangkut pautkan teori yang diajarkan dengan putusan pengadilan yang ada berkenaan dengan itu. Saldi menegaskan, “Sebagai orang yang bergerak di bidang hukum, terutama di Fakultas Hukum, tidak mungkin mengabaikan putusan. Menurut saya, meskipun kita ini tunduk pada model hukum yang berbeda dari anglo saxon, kita juga harus memiliki cara baru melihat kebutuhan hukum yang ada melalui putusan pengadilan,”

Dalam bayangannya, dia menjelaskan di masa mendatang mahasiswa hukum, khususnya jenjang S-1 ilmu hukum, harus dipaksa mengikuti dan membaca putusan-putusan pengadilan. Terutama putusan yang terkategori yurisprudensi dan diikuti hakim-hakim setelahnya. Hal ini salah satu cara untuk mendesain kurikulum Fakultas Hukum ke depan untuk tidak terfokus pada pengetahuan teoritis yang diterima, tapi juga mengkaji putusan kasus-kasus konkrit di bawah MA dan pengujian UU di MK.

“Bagi saya sekarang, jika ditanya bagaimana pendidikan hukum Indonesia? Jawabannya, kita masih harus membenahi beberapa hal agar pendidikan hukum kita itu bisa menjadi bagian terdepan untuk mempertahankan negara hukum itu sendiri. Salah satunya dengan mendesain kurikulum pendidikan tinggi hukum ke depan,” harapnya.

Namun dia optimis dan yakin bisa terwujud perbaikan pendidikan hukum di Indonesia. Meski tantangan lain yang harus dihadapi kampus dengan Fakultas Hukum adalah godaan menerima mahasiswa dengan jumlah yang terkadang diluar batas kemampuan. Menurut Saldi, ketika Fakultas Hukum diminati banyak orang, maka terdapat kesempatan untuk memperbaiki kualitas peserta didik yang akan masuk, tetapi hal ini tidak terjadi.

Bahkan, kata dia, Fakultas Hukum dengan fakultas lain saling berlomba-lomba menerima mahasiswa dengan alasan income (pendapatan). Tanpa mempertimbangkan bagaimana memberikan proses pembelajaran yang baik, sehingga dapat menjadi bekal mahasiswa hukum untuk bekerja di bidang hukum yang nantinya akan memberi pengaruh signifikan terhadap wajah hukum di Indonesia.

“Kalau mau ‘berinvestasi’ untuk memperbaiki penegakan hukum ke depan, lakukan sejak awal dengan pendidikan hukum itu. Fakultas Hukum tidak perlu menerima banyak-banyak mahasiswa hukum agar kita memiliki kesempatan yang lebih paripurna untuk memberi bekal kepada mereka yang bergabung dalam Fakultas Hukum,” tutup Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu.

Tags:

Berita Terkait