LBH Jakarta Ingatkan Penegakan Hukum Tak Boleh Diskriminatif
Terbaru

LBH Jakarta Ingatkan Penegakan Hukum Tak Boleh Diskriminatif

LBH Jakarta meminta agar Kapolri dan Kejaksaan Agung bersikap objektif imparsial dan tidak diskriminatif dalam melakukan penegakan hukum khususnya terhadap anggota kepolisian.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Persidangan dengan terdakwa Briptu FR dan dan Ipda MYO dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum (unlawful killing) terhadap empat laskar Front Pembela Islam (FPI) sudah mulai digelar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10/2021) kemarin. Sayangnya, kedua terdakwa tak dilakukan penahanan sejak di tingkat penyidikan hingga mulainya persidangan. Hal ini dinilai sebagian kalangan bentuk perlakuan diskriminatif.

“Hal ini merupakan tindakan yang diskriminatif karena kedua terdakwa diduga menghilangkan nyawa orang lain dan merupakan representasi Negara. Apalagi, ancaman pidana yang dilakukan kedua terdakwa hingga 15 tahun penjara,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana dalam keterangannya, Rabu (20/10/2021).

Dia mengingatkan merujuk rumusan norma Pasal 21 ayat (4) KUHAP sudah jelas menyebutkan alasan penahanan. Intinya, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 tahun lebih. Menurutnya, beralasan kuat bila kedua terdakwa semestinya dilakukan penahanan bila merujuk Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Apalagi dugaan tindak pidana pembunuhan dilakukan terhadap empat laskar FPI di luar proses hukum. “Namun, pada prakteknya hal ini tidak dilakukan,” ujarnya

Dia menerangkan, tindakan diskriminatif dalam penegakan hukum banyak terjadi di kasus-kasus lainnya. Seperti kasus penyiraman air keras Novel Baswedan. Malahan hingga saat ini pelaku masih menjadi anggota kepolisian aktif dan belum diberhentikan dari institusi Polri meskipun terdapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Perlakuan ini bertentangan dengan Pasal 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara. Beleid ini mengatur pelaku anggota kepolisian dapat diberikan sanksi berupa Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) bila melanggar. Begitupula dengan Irjen Pol Napoleon  Bonaparte yang telah divonis terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus penghilangan red notice Djoko Tjandra dan menganiaya Muhammad Kace di Rutan Bareskrim belum pula diberhentikan dari institusi Polri.

Ada pula kasus penganiayaan terhadap Jurnalis Tempo Nurhadi oleh anggota Polda Jawa Timur. Pelakunya pun tidak dilakukan penahanan, meski telah berstatus tersangka. Berbeda ceritanya dibandingkan dengan perkara pidana yang melibatkan masyarakat sipil sebagai tersangka maupun terdakwa. (Baca Juga: Kapolri Ancam Pecat dan Pidanakan Anggotanya yang Langgar Aturan)   

Dalam praktiknya, LBH Jakarta bertindak sebagai penasehat hukum amat sulit memperoleh penangguhan penahanan di tingkat kepolisian ataupun kejaksaan meski telah sesuai dengan rumusan norma Pasal 31 ayat (1) KUHAP. Pasal 31 ayat (1) KUHAP menyebutkan, Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangannya masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”.

Menuruttnya, fakta tersebut didukung dengan data penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2021 tentang Praktik Penahanan di Indonesia. Setidaknya ditemukan dari 113 tersangka, sejumlah 109 orang dilakukan penahanan. Sementara sisanya 10 orang tidak dilakukan penahanan. Selain itu, dari 103 tersangka ditemukan sebanyak 29 orang tersangka diambil keterangannya setelah dilakukan penahanan terlebih dahulu. 

Namun berbeda halnya bila anggota kepolisian yang tersandung kasus hukum dan berstatus tersangka maupun terdakwa dalam perkara pidana. Para pelaku dari institusi Polri itu seolah memiliki impunitas dalam penegakan hukum. “LBH Jakarta menilai bahwa masih banyaknya proses penegakan hukum yang diskriminatif antara masyarakat sipil dengan anggota Polri,” ujarnya.

Dia pun meminta agar Kapolri dan Kejaksaan Agung bersikap objektif imparsial dan tidak diskriminatif dalam melakukan penegakan hukum khususnya terhadap anggota kepolisian. Selain itu, agar seluruh anggota Polri yang telah terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap agar diberhentikan dengan tidak hormat.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan pihaknya tidak melakukan penahanan terhadap dua anggota Polri yang menjadi tersangka dan terdakwa kasus unlawful killing terhadap empat laskar FPI. “Tidak dilakukan penahanan karena beberapa pertimbangan objektif,” ujarnya sebagaimana dikutip dari laman Antara.

Menurutnya, ada dua pertimbangan objektif. Pertama, kedua terdakwa masih berstatus anggota Polri aktif. Kedua, kedua terdakwa sejak dari tingkat penyidikan mendapat jaminan dari atasannya untuk tidak melarikan diri, serta kooperatif dalam menjalani proses hukum. Mulanya, terdapat tiga tersangka yakni FR, MYO dan EPZ. Namun EPZ meninggal pada April lalu saat proses penyidikan masih berlangsung. Alhasil merujuk Pasal 109 KUHAP, perkaranya dihentikan.

Seperti diketahui, kedua terdakwa dalam persidangan didakwa penuntut umum dengan Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

Tags:

Berita Terkait