Prof. Andi Hamzah, SH, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, mengatakan bahwa lepasnya Joko sudah diperkirakan sebelumnya. Pasalnya, sampai saat ini tindak pidana korupsi masih di luar jangkaun hukum yang sebenarnya. Ibaratnya, corruption beyond the reach of the law.
Bahkan, Andi Hamzah menyatakan bahwa ia pun mungkin akan menempuh cara yang ditempuh oleh majelis hakim. "Andaikata saya yang menjadi hakim, berdasarkan pengetahuan hukum saya, saya akan melepaskan Joko karena memang secara hukum tidak terbukti," cetusnya.
Menurut Andi Hamzah, hukum pidana kita adalah hukum pidana definisi. Akibatnya apabila tidak masuk ke dalam definisi tersebut, bukanlah suatu tindak pidana. "Seperti kasus Joko tidak terbukti unsur merugikan negaranya, sehingga pada akhirnya bebas," katanya.
Andi juga melihat bahwa perjanjian cessie antara para pihak dalam perkara kasus Bank Bali adalah perbuatan perdata, sehingga tidak ada unsur pidananya. "Sewajarnya kalau hakim memutuskan demikian," ujarnya.
Lepas dari jerat hukum
karena majelis hakim menilai kasus Bank Bali dengan terdakwa Joko bukan merupakan kasus pidana melainkan kasus perdata. Inilah untuk ketiga kalinya, Joko lolos dari jerat hukum.
Tiga kali Joko ganti majelis hakim, tiga kali pula Joko memenangkan perkara. Pertama, saat praperadilannya dimenangkan oleh hakim JMT Simatupang pada 25 Januari 2000. Kedua, dalam putusan sela kasus bank Bali, hakim Soenarto memutuskan menolak dakwaan jaksa pada 6 Maret 2000. Ketiga, ketua majelis hakim Soedarto menyatakan Joko dilepaskan dari tuntutan hukum pada 28 Agustus 2000.
Kemenangan Joko dalam putusan sela sempat diprotes Bank Dunia. Kini dengan dilepaskannya Joko, akankah Bank Dunia kembali melakukan protes? Namun yang pasti, lepasnya Joko ini mengusik rasa keadilan. Mengapa tersangka korupsi senilai Rp546 miliar (korupsi di Bank Bali Rp946 miliar) yang dituntut hukuman ringan hanya 1,5 tahun malah bisa lepas dari jerat hukum?