Lindungi Investor Asing, Indonesia Diminta Akhiri Perjanjian Investasi
Berita

Lindungi Investor Asing, Indonesia Diminta Akhiri Perjanjian Investasi

Negara anggota ASEAN perlu memastikan satu kerangka hukum untuk melindungi investor asing dan membantu pemerintah lebih fokus dalam mendefinisikan kebijakan investasi.

KAR
Bacaan 2 Menit
Peneliti Centre for International Law National University of  Singapore, J. James Losari. Foto: http://cil.nus.edu.sg
Peneliti Centre for International Law National University of Singapore, J. James Losari. Foto: http://cil.nus.edu.sg
Berlakunya Perjanjian Investasi Komprehensif ASEAN atau ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) pada 29 Maret 2012 telah menjadi pijakan negara-negara anggota menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun ini. ACIA diharapkan dapat meningkatkan daya saing regional dalam menarik dan mendatangkan lebih banyak investasi asing. Hal ini menjadi salah satu kunci demi pertumbuhan dan pembangunan daerah kawasan.

Demikian diskursus yang mengemuka dalam pertemuan bertajuk Regional Interactive Meeting on Investment Treaty Models, Rabu (21/1).

Kendati demikian, ACIA menimbulkan kekhawatiran terkait nasib 26 perjanjian investasi bilateral yang ditandatangani antar-negara anggota. ACIA tidak menyebut secara eksplisit, apakah keberlakuannya membuat perjanjian investasi bilateral itu akan batal demi hukum. Hal ini membuka kemungkinan adanya dualisme payung hukum dalam perlindungan investasi di antara negara-negara anggota.

“Bagi para investor, mereka akan memahaminya dengan mencari yang paling menguntungkan. Sementara itu, bagi pemerintah justru mereka mengantisipasi, baik perjanjian bilateral maupun ACIA telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negaranya,” ungkap peneliti Centre for International Law National University of  Singapore, J. James Losari.

James memandang, keberlakuan ACIA telah membawa perubahan bagi negara-negara anggota. Ia mengatakan, selama ini kebanyakan negara anggota membuat perjanjian investasi secara bilateral dengan mengambil model-model yang biasa digunakan di dunia. Diantaranya adalah model perjanjian investasi bilateral yang digunakan Amerika Serikat, Kanada, model North American Free Trade Agreement (NAFTA), atau United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).

Pria yang pernah magang di firma hukum Hadiputranto Hadinoto & Partners, itu melihat perubahan yang dibawa ACIA cukup signifikan. Bahkan, jika penerapan model ACIA itu dibandingkan dengan perjanjian investasi antara Indonesia-Libya, menurutnya cukup komprehensif. Sebab, ACIA mengatur tentang sejauh mana ruang kebijakan pemerintah melalui daftar panjang pengecualian perjanjian.

“Tidak hanya itu, ACIA juga berbeda dari semua perjanjian investasidi Indonesia karena berusaha untuk mendorongliberalisasi bertahap investasi,” tambahnya.

Berdasarkan hasil analisanya, James melihat bahwa klausa tertentu dalam ACIA bisa lebih menguntungkan investor dibanding dengan perjanjian bilateral yang dibuat Indonesia. Demikian pula sebaliknya, James mengatakan, klausula national treatment dan most-favored nation dalam ACIA lebih menguntungkan investor. Sementara itu, kalusula fair and equitable treatment dan full protection and security lebih menguntungkan bagi investor di bawah pengaturan perjanjian bilateral.

James yakin perbandingan itu juga terjadi antara ACIA dengan perjanjian bilateral yang telah dibuat di negara anggota lainnya. Oleh karena itu, menurutnya ke depan implementasi ACIA masih belum jelas terutama karena tak ada pengaturan terkait pelaksanaan ACIA dan perjanjian bilateral.

“Tidak ada pengaturan eksplisit, apakah perjanjian bilateral akan tetap berlaku. Jadi, kita juga belum tahu apakah negara-negara anggota akan menggunakan kedua kerangka bersamaan, atau apakah negara-negara anggota akan membiarkan perjanjian bilateral mereka berakhir,” katanya.

James berkesimpulan bahwa keberlakuan ACIA membuat perjanjian internasional bidang investasi yang telah dibuat Indonesia tetap relevan. Ia melihat pemerintah bisa memberlakukan kedua kerangka hukum itu secara bersamaan. Hanya saja, dia khawatir dualisme itu akan membingungkan investor dan pihak pemerintah sendiri.

James menerangkan, ACIA pada awalnya dimaksudkan untuk menyelaraskan dan menyatukan kerangka hukum tambal sulam ASEAN  Investment  Area  (AIA) dan ASEAN Investment Guarantee (IGA).

“Oleh karena itu, jika negara-negara anggota ASEAN berkeinginan menyelaraskan kerangka hukum untuk perlindungan investasi di daerah, mereka harus lebih mengeluarkan protokol yang akan memberikan negara-negara anggota ASEAN dalam jangka waktu tertentu untuk mengakhiri perjanjian bilateral antara mereka sendiri secara sukarela setelah berlakunya ACIA. Termasuk Indonesia,” ungkap James.

Dengan begitu, nantinya investor ASEAN hanya akan memiliki satu kerangka hukum yang kuat yang melindungi mereka. Hal ini, menurutnya juga akan membantu negara-negara anggota ASEAN untuk menjadi lebih fokus dalam mendefinisikan kebijakan investasinya.
Tags:

Berita Terkait