Mau Ajukan Sengketa Pilpres ke MK, Tim Hukum Capres Perlu Pahami Ini
Berita

Mau Ajukan Sengketa Pilpres ke MK, Tim Hukum Capres Perlu Pahami Ini

Argumentasi harus kuat disertai bukti-bukti.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

Apalagi, kata Bayu, jika hasil quickcount 99 persen ternyata benar dengan hasil yang diumumkan KPU, bahwa paslon nomor urut 01 yang memperoleh suara lebih banyak daripada paslon nomor urut 02. “Maka, seharusnya paslon nomor urut 02 mempersiapkan dengan baik buktinya dan mengawal hasil rekapitulasi suara, begitu juga nomor 01 jika nanti menjadi termohon sengketa pilpres,” kata Bayu kepada Hukumonline, Jumat (19/04).

(Baca juga: Kecurangan Pemilu, Tempuh Jalur Konstitusional!).

Hukumonline.com

Perselisihan hasil sengketa pilpres di MK tidak memiliki ambang batas suara. Namun, Bayu menjelaskan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mengajukan sengketa selisih suara ke MK, haruslah detail menjelaskan bagian suara mana yang hilang dan bagaimana cara membuktikannya. “Bukan seperti tahun 2014 yang lalu, diajukan oleh paslon Prabowo-Hatta yang dalilnya sangat lemah,” ujarnya.

Dalam gugatan sengketa pilres tahun 2014 lalu, pemohon yang mengajukan gugatan sengketa pilpres ke Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan bahwa terjadi perbuatan curang, ada ketidaknetralan aparat yang bertugas, dan dihalangi berkampanye. Padahal, jelas Bayhu, masalah-masalah seperti itu seharusnya sudah diselesaikan di Bawaslu. “Seharusnya yang perlu diperkuat ialah mengenai hasil selisih suaranya,” kata Bayu.

Misanya, ia mencontohkan, jika paslon nomor urut 02 kehilangan suaranya sebanyak 10 juta suara. Maka, seharusnya mereka mampu mendalilkan hilangnya 10 juta suara itu seperti apa dan buktikan dengan hasil suara rekapitulasi nomor urut 02 dan dapat membuktikan bahwa hasil selisih suaranya lebih dari 10 juta suara. “Tapi, kalau hanya ada satu juta atau dua juta suara saja, sedangkan selisih suaran 10 juta suara, itu tidak mempengaruhi perolehan suara,” jelasnya.

Dalam buku “Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu di MK”, Denny Indrayana menuliskan bahwa berdasarkan data sengketa pilpres 2004, 2009, dan 2014,  dapat disimpulkan tidak mudah untuk mengubah penetapan suara yang dibuat oleh KPU. Mahkamah Konstitusi menolak semua permohonan sengketa pilpres. Diuraikan juga bahwa yang dibutuhkan tidak hanya dibutuhkan hitung-hitungan matematis, tetapi juga bukti-bukti yang kuat dan tidak terbantahkan bahwa telah terjadi kesalahan yang sangat nyata dalam peghitungan,  atau telah terjadi pelanggaran yang betul-betul STM (Sistematis, Terstruktur, dan Masif) yang menyebabkan penetapan KPU harus dibatalkan.

“Jika argumentasi yang diajukan hanya didasarkan hitung-hitungan asumtif, pelanggaran dan/atau tindak pidana yang kalaupun memang terbukti ada tetap tidak akan mengubah jumlah suara secara signifikan. Dan, karenanya tidak akan mengubah hasil akhir pemenang pilpres. Maka, dapat diprediksi MK akan memutuskan menolak permohonan” begitu tertulis dalam buku Denny.

Tags:

Berita Terkait