Me-Lockdown MK demi Kembalinya Kepercayaan Rakyat
Kolom

Me-Lockdown MK demi Kembalinya Kepercayaan Rakyat

Sepatutnya MK menghentikan semua perkara yang sedang diperiksa para hakim sampai pemeriksaan dugaan pelanggaran etik mereka selesai. Hal ini untuk mencegah potensi pelanggaran etik lainnya yang mengakibatkan cacatnya putusan yang dikeluarkan oleh hakim konstitusi.

Bacaan 3 Menit
Ryan Muthiara Wasti. Foto: Istimewa
Ryan Muthiara Wasti. Foto: Istimewa

Indonesia mendapat cobaan bertubi-tubi di penghujung tahun 2023 ini. Tingginya sinar UV akibat musim kemarau—yang mengakibatkan panasnya cuaca—menimbulkan kegersangan di mana-mana. Hasilnya adalah kelangkaan sumber air bersih yang menguji ketangguhan fisik rakyat. Lebih dari itu, nalar rakyat pun diuji oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Cuaca ekstrim mungkin mengakibatkan bahaya berkurangnya akses air bersih serta mengganggu aktivitas. Namun, putusan MK tadi juga tidak kalah membahayakan. Betapa besar dampak yang diakibatkan putusan para hakim konstitusi kali ini terhadap praktik bernegara.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dipisahkan dengan cabang kekuasaan lainnya. Mengapa harus dipisah? Pertanyaan inilah yang harus dijawab dan diinternalisasikan para hakim dalam ranah kekuasaan kehakiman. Salah satu faktor penting penyebab berpisahnya kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan eksekutif—menurut Montesquieu—adalah demi menjamin tegaknya keadilan dengan independensi hakim.

Jika membandingkan dengan sejarah Islam berabad-abad silam, belum dikenal praktik pemisahan kekuasaan hakim dan eksekutif. Rasulullah Muhammad dan para sahabatnya memimpin sekaligus menjadi hakim yang adil. Keadilan dapat ditegakkan karena prinsip pemerintahan pada masa itu berkomitmen menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat. Lantas, apakah berpisahnya kekuasaan kehakiman dari kekuasaan eksekutif—seperti diterapkan di Indonesia—sungguh membuat keadilan tegak?

Baca juga:

Kekuasaan kehakiman berlandaskan pada prinsip The Bangalore Pinciple of Judicial Conduct 2002 yang berisi prinsip independensi dan imparsialitas. Prof.Jimly Asshiddiqie—Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pertama—memaknai prinsip independensi dan imparsialitas ini bukan saja atas yang telah dilakukan. Pemaknaannya meliputi juga kondisi terlihat imparsial dan independen. Seorang hakim bukan hanya diminta untuk tidak benar-benar melanggar prinsip independensi dan imparsialitas. Ia juga harus berusaha memperlihatkan bahwa ia tidak berani untuk melanggar batas. Itulah alasan mengapa salah satu kode etik hakim—khususnya hakim MK dalam Sapta Karsa Hutama—adalah harus mundur dari perkara yang sedang ditangani jika terdapat konflik kepentingan, demi mencegah ada batas yang mungkin dilewati.

Sayang sekali, jika terlanjur melewati batas etik, apa yang harus dilakukan? Putusan MK No.90/PPU-XXI/2023 dinilai publik telah melanggar etik. Beberapa laporan pelanggaran etik pun akhirnya dibuat. Sebut saja misalnya laporan Prof. Denny Indrayana selaku Guru Besar Hukum Tata Negara serta Petrus yang mewakili Pergerakan Advokat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Mereka melaporkan dugaan pelanggaran etik oleh sembilan hakim tidak lama setelah terbitnya Putusan MK No.90/PPU-XXI/2023. Selain itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra juga dilaporkan oleh Bob Hasan (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat) secara khusus berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik membeberkan pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

Lockdown

Pelanggaran etik adalah pelanggaran serius yang harus ditindaklanjuti agar tidak terjadi pelanggaran hukum. Sudah sepatutnya MK membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk memperlihatkan keseriusan dalam penegakan etik. Namun, ada hal mendesak lain yang perlu dilakukan MK selain pembentukan MKMK. Sepatutnya MK menghentikan semua perkara yang sedang diperiksa para hakim sampai pemeriksaan dugaan pelanggaran etik mereka selesai. Hal ini untuk mencegah potensi pelanggaran etik lainnya yang mengakibatkan cacatnya putusan yang dikeluarkan oleh hakim konstitusi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait