Melihat Tantangan Penerapan HAM dalam Proses Penuntutan
Utama

Melihat Tantangan Penerapan HAM dalam Proses Penuntutan

Ke depan bagaimana Kejaksaan RI memastikan agar pelaksanaan tugas dan fungsi para jaksa didasarkan pada penghormatan, perlindungan, pemajuan penegakan dan pemenuhan HAM sesuai amanah UUD Tahun 1945. Kejaksaan sudah memulai dengan penerapan kebijakan restorative justice.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Kejaksaan harus independen

Direktur Center for Human Rights and International Justice (CHRIJ) pada Stanford University, Prof. David Cohen, berpandangan Kejaksaan menjadi unsur utama dalam supremasi hukum yang berkaitan dengan kekuasaan di bidang penuntutan, khususnya kekuasaan upaya paksa yang dimandatkan negara. Menurutnya, supremasi hukum membutuhkan menerapan fungsi upaya paksa dengan tujuan mewujudkan hak dan kesejahteraan warga negara, bukan malah melayani kepentingan pemerintah yang berkuasa.

“Jadi ini adalah hal yang paling penting dalam independensi Kejaksaan. Jadi Kejaksaan harus independen dari kepentingan pemerintahan atau partai politik. Tetapi harus tetap melayani negara dan warga negaranya,” kata dia.

Dia berpendapat, perlindungan hak warga negara diatur dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945. Hal tersebut menjadi tantangan bagi semua unsur dalam sistem penegakan hukum dan perlindungan HAM. Bila terdapat individu dituding melanggar KUHP, namun tindakannya dilindungi konstitusi maupun peraturan perundang-undangan tentang HAM, Kejaksaan berhak menggunakan diskresinya menentukan kasus tersebut untuk dibawa ke pengadilan atau sebaliknya.

Seperti kebebasan bereskpresi dijamin oleh UU maupun konstitusi. Kebebasan berekspresi menjadi hak dasar yang perlindungan penting bagi masyarakat di negara demokratis. Menurutnya, supremasi hukum menghendaki peraturan perundang-undangan yang ditetapkan menghormati dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara.

“Jadi bagian tugas dari tiap-tiap jaksa untuk menjalankan fungsi dari jabatannya dan kewajiban dari jabatannya untuk melindugi hak warga negara dalam setiap kasus apakah ada kemungkinan pelanggaran HAM dalam proses penuntutan?”

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Dian Rositawati menilai persoalan sistemik dan arah ke depan terletak pada independensi dan profesionalitas jaksa. Memang dalam UU 16/2004 menyebutkan jaksa bertindak secara hierarki. Problemnya, pejabat Jaksa Agung yang disandingkan dengan setingkat kabinet pemerintahan.

Namun secara prinsipil, jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus independen terhadap pilar kekuasaan lainnya. Artinya, kata Tita begitu biasa disapa, jaksa dalam melaksanakan tugasnya harus terlepas dari intervensi kekuasaan manapun guna pemenuhan peradilan yang adil.  Selain itu memperkuat peran jaksa dalam penerapan asas dominus litis dalam penegakan hukum pidana.

Sebab, jaksa hakikatnya menjadi satu-satunya yang melaksankan tugas penuntut umum yang bersifat mutlak. Selain itu memperkuat peran Jaksa Agung dalam kebijakan pengendalian dan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 16/2004.

Tags:

Berita Terkait