Memahami Seluk Beluk Proposal Perdamaian dalam PKPU dan Pailit
Berita

Memahami Seluk Beluk Proposal Perdamaian dalam PKPU dan Pailit

Tidak ada aturan yang mengatur tentang penyusunan proposal perdamaian, namun biasanya proposal perdamaian yang disampaikan harus terperinci dan terbuka akan lebih meyakinkan kreditur bahwa debitur sungguh-sungguh ingin menyelesaikan utangnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Merujuk Pasal 281 ayat (1) jo. Pasal 280 UU Kepailitan, dalam konteks PKPU, rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan: “persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat kreditur termasuk kreditur yang tagihannya dibantah dan dapat ikut serta dalam pemungutan suara dengan jumlah batasan suara berdasarkan penentuan hakim pengawas, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat” dan “persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan dari kreditur tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat.”

Di sisi lain, rencana perdamaian dapat ditolak oleh pengadilan meskipun telah mendapat persetujuan mayoritas kreditur. Berdasarkan Pasal 159 ayat (2) pengadilan wajib menolak pengesahan perdamaian dalam kepailitan apabila: “harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; dan/atau, perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerjasama untuk mencapai hal ini.”

Pun dalam perkara PKPU (Pasal 285 ayat (2) UU Kepailitan), pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila: “harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.”

“Lantaran tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dalam praktik debitur memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam membuat proposal perdamaian yang akan disajikan kepada para krediturnya,” jelas Rizky dalam klinik hukumonline.

“Hal ini berbeda jika dilihat dalam Insolvency, Restructuring, and Dissolution Act 2018 No. 40 yang berlaku di Singapura dan United States Bankruptcy Code yang berlaku di Amerika Serikat. Keduanya, baik secara tersirat maupun tersurat, mengatur muatan minimal dari suatu rencana perdamaian yang hendak disajikan kepada para kreditur,” lanjutnya.

Menurutnya, suatu rencana perdamaian setidak-tidaknya dapat memasukan hal-hal berikut: keadaan usaha debitur saat ini; prospek kelangsungan usaha debitur; posisi neraca keuangan terbaru; aset disclosure; dan komitmen investor (jika ada). Rizky berpendapat proposal perdamaian yang disampaikan secara terperinci dan terbuka akan lebih meyakinkan kreditur bahwa debitur sungguh-sungguh ingin menyelesaikan utangnya.

“Uraian ini bukan merupakan suatu keharusan dalam penyususan suatu rencana perdamaian. Namun perlu diingat, menyampaikan rencana perdamaian yang terperinci dan terbuka akan membawa keyakinan tersendiri bagi kreditur. Debitur dapat dianggap sunguh-sungguh menyelesaikan utang-utang yang dimilikinya,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait