Memaknai Ulang Lansia sebagai Subjek Hukum yang Berdaya
Sidang Promosi Doktor

Memaknai Ulang Lansia sebagai Subjek Hukum yang Berdaya

Analisis dilakukan dengan hermeneutika. Teori yang dirujuk adalah fusion of horizons Gadamer dan instrumen hermeneutika kritis Habermas.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ari Wahyudi Hertanto (tengah dengan jas) bersama para penguji usai sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum, Sabtu (6/1/2024) di FHUI. Foto: NEE
Ari Wahyudi Hertanto (tengah dengan jas) bersama para penguji usai sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum, Sabtu (6/1/2024) di FHUI. Foto: NEE

Sidang Terbuka Promosi Doktor di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Sabtu (6/1/2024) lalu menelaah objek riset yang kerap terlupakan. Disertasi Ari Wahyudi ‘Didit’ Hertanto mengulas bagaimana hukum Indonesia menempatkan manusia lanjut usia (lansia) sebagai subjek hukum yang berdaya. Dosen FHUI ini mengajukan kritik bahwa instrumen hukum positif yang ada tanpa disadari telah mendiskriminasi lansia.

Didit meninjau ulang konsep lansia dalam UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU Lansia) terhadap teks konstitusi dengan analisis hermeneutika hukum. Salah satu yang dipersoalkan soal kategori Lanjut Usia Potensial dan Lanjut Usia Tidak Potensial dalam UU Lansia. “Jangan sampai terjadi bahwa tanpa disadari undang-undang ini diskriminatif terhadap lansia,” ujar Didit dalam sidang terbuka promosinya.

Baca juga:

Didit meraih predikat sangat memuaskan saat dinyatakan sah menjadi doktor ilmu hukum ke-311 lulusan Universitas Indonesia. Ia adalah doktor ilmu hukum ketiga yang lulus dari FHUI pada tahun 2024. Didit mengajukan rekonseptualisasi lansia Indonesia untuk membela hak asasi lansia. Dosen FHUI bidang dasar-dasar Ilmu hukum ini memberi judul penelitian disertasinya Rekonseptualisasi Konstitusionalitas Manusia Lanjut Usia: Suatu Tinjauan Teori Hukum.

Telaah Didit ada pada medan interpretasi teks UUD 1945 yang diturunkan menjadi UU Lansia. Analisis hermeneutika hukum dilakukan dengan teori fusion of horizons Gadamer dan instrumen hermeneutika kritis Habermas. Secara ringkas, Didit menguji sejauh mana kategori Lanjut Usia Potensial dan Lanjut Usia Tidak Potensial dalam UU Lansia sejalan dengan isi UUD 145 sebagai konstitusi.

Bisa dikatakan riset Didit adalah bentuk paling akademik dari judicial review yang biasa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Itu sebabnya Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Prof.Satya Arinanto yang menjadi promotor dalam membimbing riset disertasi Didit sekaligus penguji. Para penguji Didit ialah Dr. Jufrina Rizal (kopromotor), Budidarmono, Ph.D. (kopromotor), Prof.Kurnia Toha (Guru Besar Hukum Bisnis), Prof.Fitra Arsil (Guru Besar Hukum Tata Negara), Prof.Shidarta (Guru Besar Filsafat Hukum), Dr.E. Fernando M. Manullang (pakar Filsafat Hukum), Dr.Fatmawati (pakar Hukum Tata Negara), dan Dr.Endyk M. Asror (pakar Hukum Bisnis).

Didit membuktikan secara konstitusional konsep lansia sebagai subjek hukum memang tidak diatur khusus oleh UUD 1945. Hal itu karena UUD 1945 bersifat generalis. Namun, subjek manusia tetap muncul dalam beberapa kata yang menunjuk masyarakat Indonesia. Didit menunjuk istilah rakyat (people) dalam Pasal 1 ayat (2), warga negara (citizen) dalam Pasal 26 ayat (1), penduduk (resident) dalam Pasal 26 ayat (2), orang (person) dalam Pasal 28A, manusia (human) dalam Bab XA, masyarakat (community) dalam Pasal 28J, bangsa (nation) dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, dan umat manusia (human kind) dalam Pasal 31 ayat (5).

Salah satu kritik utama Didit bahwa kategori Lanjut Usia Potensial dan Lanjut Usia Tidak Potensial dalam UU Lansia menghilangkan keberdayaan para lansia. Ia menyimpulkan bahwa kategori itu bertentangan dengan perlindungan hak asasi manusia dalam UUD 1945. Ia berharap negara tetap memberikan kesempatan kerja bagi seluruh lansia. “Hal ini dilakukan pemerintah tanpa membedakan ‘Lanjut Usia Potensial’ dan ‘Lanjut Usia Tidak Potensial’,” kata Didit dalam saran akhir hasil penelitiannya.

Didit membuktikan bahwa kasus UU Lansia ini menunjukkan luputnya kajian filosofis, historis, dan teoritis yang memadai dalam pembentukan undang-undang. Akibatnya, sejak awal banyak undang-undang tidak punya argumentasi yang kokoh atas keselarasannya dengan konstitusi. Didit mengusulkan pembentukan undang-undang tidak bisa dipercayakan sebatas pada anggota parlemen yang silih berganti setiap periode jabatan.

Selain itu, dibutuhkan mekanisme judicial preview oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam hukum positif Indonesia. “Perlu dilakukan kajian terhadap kemungkinan perluasan kewenangan Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait