Mempertanyakan Tawaran Kapolri Rekrut 56 Pegawai KPK Jadi ASN Polri
Utama

Mempertanyakan Tawaran Kapolri Rekrut 56 Pegawai KPK Jadi ASN Polri

56 orang pegawai KPK ini sudah berkomunikasi dengan tim kuasa hukum dan masih membutuhkan konsolidasi di internal. Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo tetap melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM terkait penyelenggaraan TWK KPK dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN di KPK.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Beberapa pegawai KPK bagian dari 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK diberhentikan per 30 September 2021 dan kemudian ditawari menjadi ASN Polri. Foto: RES
Beberapa pegawai KPK bagian dari 56 pegawai KPK yang tak lulus TWK diberhentikan per 30 September 2021 dan kemudian ditawari menjadi ASN Polri. Foto: RES

Sikap Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang berniat menarik pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi ASN Polri mendapat respons positif dari sejumlah kalangan, terutama parlemen. Bahkan, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman pun mendukung sikap Kapolri ini yang diklaim telah mendapat persetujuan presiden. Tapi, tidak demikian tim kuasa hukum 56 pegawai KPK.  

Salah satu anggota tim kuasa hukum 56 Pegawai KPK yang tak lulus TWK, Muhammad Isnur enggan berkomentar soal keinginan Kapolri menarik puluhan kliennya ke institusi Polri. Pasalnya, masih belum jelas secara detil mekanisme, metode dan penempatan di Polri. Dia enggan tergesa-gesa merespon keinginan Kapolri tersebut bila nanti pada ujungnya merugikan kliennya.

“Soal penempatan, kita belum bisa kasih respon, karena ini belum jelas detilnya,” ujar Muhammad Isnur saat dihubungi Hukumonline, Kamis (29/9/2021). (Baca Juga: Polri Berkeinginan Rekrut 56 Pegawai KPK Tak Lulus TWK)

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini menilai ide mengalihkan status kepegawaian 56 orang ini tersebut ke Polri menjadi pertanyaan besar apakah insiatif Presiden atau Kapolri seorang. Sebab, bila melihat rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI meminta sikap presiden agar menyelesaikan persoalan TWK. Karena itu, tim kuasa hukum lebih menagih presiden dalam menyelesaikan persoalan TWK tersebut, bukan Kapolri.

“Ini bukan sekedar orang bekerja tidak diterima di tempat tertentu lain, tapi dialihkan ke tempat lain, bukan soal cuma itu. Tapi ini ada proses stigmatisasi, pembunuhan karakter, melanggar hak asasi manusia (HAM), ada cacat prosedur juga. Ini penting kita mempertanyakan bagaimana sikap presiden, bukan cuma mengabulkan permintaan Kapolri meminta dialihkan ke Polri,” kata Isnur.

Isnur mengaku 56 orang pegawai KPK ini sudah berkomunikasi dengan tim kuasa hukum. Mereka masih membutuhkan konsolidasi di internal. Sebab, 56 orang pegawai KPK itu memiliki pemikiran dan pandangan berbeda-beda dan masih terdapat pertanyaan terhadap tawaran gagasan Kapolri tersebut. Sebab, inti permasalahan lebih pada proses TWK yang menimbulkan banyak persoalan.

“Pertanyaanya kenapa tiba-tiba diajukan ke Kapolri. Ini pertanyaan besar. Kami masih menunggu sikap mereka bagaimana, kita lihat perkembangannya. Jadi jangan terburu-buru mengapresiasi, nanti malah jadi blunder dan kita menyerahkan ke mereka. Nantinya, kami menghargai sikap mereka apapun keputusannya.”

Hal senada disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang menilai alih-alih menyelesaikan masalah, langkah Kapolri yang terkesan mewakili Presiden Joko Widodo justru dapat semakin memperumit situasi. Betapa tidak, Selasa, 28 September 2021, Kapolri tiba-tiba menyebutkan 56 pegawai KPK yang dianggap tidak lulus TWK akan segera dilantik sebagai ASN di Kepolisian.

“Lalu, timbul satu pertanyaan penting, apakah sikap Kapolri tersebut mewakili sikap Presiden?” ujar Koalisi dalam siaran persnya, Rabu (29/9/2021) malam. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terdiri dari 13 organisasi diantaranya ICW, YLBHI, KIPP Indonesia, LBH PP Muhammadiyah, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Transparency International Indonesia 10. Perempuan Indonesia Antikorupsi, Pusat Studi Konstitusi FH UNAND, Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Amnesty International Indonesia. LBH Jakarta.    

Koalisi mengingatkan perlawanan hukum yang dilakukan 56 pegawai KPK di berbagai lembaga negara, mulai dari Ombudsman, Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung, telah mengeluarkan satu kesimpulan yakni TWK yang diatur melalui Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 sah secara konstitusional. Namun penyelenggaraannya dipenuhi dengan sejumlah persoalan, diantaranya, maladministrasi berdasarkan temuan Ombudsman serta melanggar HAM sebagaimana disampaikan Komnas HAM.

“Seluruh temuan tersebut pada dasarnya bermuara pada sikap Presiden. Maka dari itu, apapun keputusan Presiden selayaknya disampaikan secara langsung, bukan justru didelegasikan kepada pihak lain, dalam hal ini Kapolri,” tulis Koalisi.  

Bagi Koalisi, rencana pemerintah mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN di Polri juga makin menguatkan sinyal bahwa TWK penuh masalah. Logika hukumnya, pemerintah melalui Menkopolhukam mengungkapkan bahwa dasar hukum pengangkatan 56 pegawai KPK adalah Pasal 3 ayat (1) PP No.17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Aturan itu menyebutkan Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS berwenang menetapkan pengangkatan PNS. Pada waktu yang sama, Pimpinan KPK mengatakan 56 pegawai KPK tidak bisa diangkat menjadi ASN karena tidak lulus TWK. Dengan dasar PP 17/2020 itu juga, Presiden seharusnya menegur dan mengevaluasi Pimpinan KPK karena telah membuat gaduh dan meresahkan masyarakat atas tindakannya dalam penyelenggaraan TWK.

Hal ini dibenarkan secara peraturan perundang-undangan. Sebab, Presiden merupakan atasan langsung dari KPK berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dan dituangkan dalam perubahan UU KPK. Sederhananya, jika Presiden mengangkat 56 pegawai ASN tanpa diikuti evaluasi atas kinerja Pimpinan KPK, maka patut diduga pihak eksekutif juga berada pada posisi yang sama dengan Firli Bahuri dan komisioner lainnya.

Patut dicermati, Ombudsman dan Komnas HAM telah mengeluarkan rekomendasi atas investigasinya perihal penyelenggaraan TWK KPK. Dua lembaga negara yang dibentuk dengan undang-undang itu telah meminta kepada Presiden untuk melantik 56 pegawai KPK menjadi ASN di KPK. Pertanyaan lanjutannya, apakah Presiden sudah membaca dan melakukan pertemuan dengan Ombudsman dan Komnas HAM sebelum menyetujui ide dari Kapolri terkait kelanjutan 56 pegawai KPK?

“Sebab, jika sudah, namun tidak dijalankan, maka akan timbul konsekuensi hukum bagi Presiden.”

Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI secara terang benderang menyebutkan bahwa Terlapor (Pimpinan KPK) dan atasan Terlapor (Presiden) wajib melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Maka dari itu, tindakan pengabaian Presiden terhadap hal tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah tidak menghargai kinerja lembaga negara dan merupakan suatu perbuatan melawan hukum.

Pernyataan Kapolri terkait rencana pengangkatan 56 pegawai KPK menjadi ASN di Kepolisian penting kita amati bersama. Sebab, belum ada penjelasan lengkap perihal konsep tersebut. Misalnya, landasan hukum, penempatan, dan tugas yang akan mereka emban nanti di kepolisian. Hal ini penting, sebab, 56 pegawai KPK tersebut berasal dari lintas kedeputian sewaktu bekerja di KPK, mulai dari penindakan, pencegahan, dan bagian-bagian lainnya.

Selain itu, jangan sampai ada kesan yang timbul bahwa puluhan pegawai KPK tersebut seolah-olah diposisikan sebagai pencari pekerjaan (job seeker). Sebab, keinginan untuk menjadi ASN bukan niat dari individu, melainkan perintah UU. Lagi pula, ketidaklolosan mereka dalam TWK di KPK juga tidak dapat dibenarkan secara hukum.

Karena itu, Koalisi tetap mendesak Presiden untuk menyampaikan secara langsung tindak lanjut atas pemberhentian 56 pegawai KPK. Lebih jauh, Koalisi menegaskan kembali tuntutan utama kepada Presiden untuk mengesahkan alih status 56 pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara di KPK.

“Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM terkait penyelenggaraan TWK KPK dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN di KPK,” tegasnya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keinginannya menarik 56 pegawai KPK yang tak lolos TWK sebagai ASN Polri untuk memperkuat Direktorat Tipikor Bareskrim Polri. Dalam konferensi pers saat persiapan Pembukaan PON XX Papua di Papua, Selasa (28/9/2021), Kapolri mengatakan niatan tersebut telah disampaikannya kepada Presiden Joko Widodo melalui suratnya. Gayung bersambut. Surat balasan melalui Menteri Sekretaris Negara (Sesneg) yang diterima pada tanggal 27 September 2021 yang intinya, Presiden Jokowi memberikan persetujuan.

Tags:

Berita Terkait