Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism
Potret Kamus Hukum Indonesia

Menafsir Konstitusi, dari Original Intent hingga Judicial Activism

​​​​​​​Dalam studi hukum tata negara dikenal pula teori mengenai the living constitution theory yang dianggap bagian dari cara pandang hukum progresif.

Moch Dani Pratama Huzaini/Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Perkembangan Putusan MK

Dalam perjalanannya, keputusan-keputusan MK tidak hanya menjadi perhatian publik tetapi juga akademisi dan peneliti hukum. Jurnal Perkembangan Pengujian UU di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif) menyebutkan bahwa publik dan pemerhati hukum terkejut ketika MK dalam pengujian UU KPK memerintahkan untuk memperdengarkan rekaman terhadap rekayasa kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK.

 

Tidak hanya di situ, kejutan-kejutan lain dalam konsep berhukum Indonesia melalui putusan-putusan MK yang membuat publik berpikir masih terdapat harapan dalam memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, MK tidak hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari itu MK juga melakukan pembenahan yang berani dalam bentuk-bentuk putusannya.

 

Bagaimana tidak? Pasal 56, Pasal 57, Pasal 64, Pasal 70, Pasal 77, dan Pasal 83 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK membatasi putusan MK ke dalam 4 jenis putusan, yaitu dikabulkan, ditolak, tidak dapat diterima, dan putusan membenarkan pendapat DPR mengenai telah terjadinya pelanggaran konstitusional oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Namun dalam implementasinya, putusan MK telah bermutasi ke berbagai jenis putusan. Misalnya, terdapat putusan MK berupa konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), dan putusan sela. Perkembangan tersebut seolah menguatkan pernyataan mantan Ketua MK Mahfud MD, bahwa MK pada periodenya menganut hukum progresif. Sebuah konsep hukum yang tidak terkukung kepada konsep teks UU semata, tetapi juga memperhatikan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

 

Salah satu contoh misalnya kasus terkait dengan pengujian UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang memperlihatkan MK sama sekali tidak terkukung bunyi teks pasal-pasal. UU MD3 eksplisit menyebutkan bahwa Ketua MPR berasal dari unsur anggota DPR saja. Namun dengan pertimbangan hukum yang jelas berdasarkan UUD 1945, MK kemudian memutuskan bahwa Ketua MPR dapat berasal dari anggota DPR ataupun dari anggota DPD.

 

MK yang hadir pasca amendemen UUD 1945 juga dibentuk untuk memenuhi hasrat para pencari keadilan. Menurut jurnal yang sama, MK melalui hakim periode kedua telah mengukuhkan dirinya sebagai lembaga pelindung keadilan substantive (substantive justice). Ini dipandang sebagai sebuah semangat keadilan sesungguhnya bukan keadilan formalistik teks produk perundang-undangan.

 

Upaya pemenuhan rasa keadilan itu bergantung kepada bagaimana cara Hakim MK dalam memutuskan perkara. Jika Hakim MK gagal mengurai makna keadilan substantif dalam setiap perkara, maka yang ditemukan adalah keadilan yang kabur. Mungkin adil menurut hakim, tapi putusan tersebut belum tentu mampu memenuhi keadilan yang ingin ditemukan oleh para pencarinya.

Tags:

Berita Terkait