Mendorong Partisipasi Publik dalam Implementasi Transisi Energi yang Adil
Terbaru

Mendorong Partisipasi Publik dalam Implementasi Transisi Energi yang Adil

Kendati terdapat berbagai peraturan perundangan yang mengatur partisipasi publik, sayangnya masih terdapat risiko kriminalisasi masyarakat.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Keterlibatan masyarakat secara penuh sejak perencanaan, proses dan pasca-decommisioning (penutupan fasilitas) harus dilakukan. proses pengambilan keputusan harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Karenanya, pelibatan masyarakat secara berkelanjutan melalui dialog, komunikasi timbal balik hingga persetujuan masyarakat melalui berbagai medium demi membuka ruang seluas-luasnya. Demikian disampaikan Peneliti PSHK, Alviani Sabillah dalam acara diskusi di Jakarta, Selasa (17/10/2023.

“Pelibatan-pelibatannya bukan sekadar masyarakat hadir pada forum diskusi, tapi mereka mendapatkan ruang dialog, komunikasi dan mereka berhak mendapatkan feedback atau komunikasi dua arah baik dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri,” ujarnya.

Meski keterlibatan penuh publik sudah diatur dalam berbagai regulasi, namun masih terdapat kelemahan pengaturan perundang-undangan. Dalam UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum misalnya, masih mengecualikan penyampaian pendapat pada objek-objek vital. Padahal, beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diakategorikan sebagai objek vital negara.

“UU 9/1998  ini sudah menjamin masyarakat secara umum dapat menyampaikan pendapat secara terbuka di hadapan umum, tetapi ada pengecualian untuk pemberlakuan penyampaian pendapat itu yaitu dilarang di objek objek vital,” katanya.

Baca juga:

Selain itu, terdapat pengaturan partisipasi publik pada perundang-undangan lain. Seperti UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Umum, Perpres No.112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan, dan UU No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.

Namun sayangnya, berbagai peraturan perundangan tersebut juga masih terdapat risiko kriminalisasi masyarakat. Misalnya, Pasal 162 UU 3/2020 menjadi celah kriminalisasi masyarakat lokal dalam menyampaikan penolakan kegiatan usaha pertambangan. Pasal 162 menyebutkan, “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu keglatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait