Mendorong Pemilihan Jaksa Agung Melalui Pansel dalam RUU Kejaksaan
Utama

Mendorong Pemilihan Jaksa Agung Melalui Pansel dalam RUU Kejaksaan

Seperti mekanisme pemilihan pimpinan KPK dan Hakim Agung. Mulai membentuk pansel, menyeleksi sejumlah persyaratan calon, menjalani serangkaian tahapan seleksi. Hasilnya diserahkan ke DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan. Hasil akhirnya diserahkan ke presiden untuk dipilih.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin bersama Anggota Komisi III Hinca Pandjaitan saat diskusi terkait pembahasan materi RUU Kejaksaan, Selasa (14/4/2021) lalu. Foto: RFQ
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin bersama Anggota Komisi III Hinca Pandjaitan saat diskusi terkait pembahasan materi RUU Kejaksaan, Selasa (14/4/2021) lalu. Foto: RFQ

Revisi Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan) bakal masuk pembahasan tingkat I oleh Komisi III dengan pemerintah. Salah satu isu yang menarik dibahas terkait pengaturan mekanisme pemilihan Jaksa Agung. Ada usulan jabatan Jaksa Agung tidak “monopoli” presiden, sehingga mekanisme pemilihan Jaksa Agung melibatkan DPR melalui uji kelayakan dan kepatutan, seperti seleksi jabatan Hakim Agung.

Anggota Komisi III DPR Hinca Pandjaitan mengatakan dalam sistem ketatanegaraan kerap menjadi perdebatan panjang soal siapa pihak yang berhak mengangkat pejabat Jaksa Agung.  Maklum, Jaksa Agung menjadi orang nomor satu di Korps Adhiyaksa sekaligus menjadi pengendali perkara serta penuntut tertinggi dalam perkara pidana.

Dalam penanganan perkara pidana, jaksa sebagai pihak yang menentukan perkara layak atau tidaknya dilanjutkan ke pengadilan. “Kalau disebut pengendali, ini seperti juru mudi mau ke kiri atau ke kanan, mau terus atau mau stop begitu. Jadi memang atas nama negara,” ujar Hinca Pandjaitan dalam diskusi beberapa waktu lalu di Komplek Gedung Parlemen. (Baca Juga: Penguatan Kejaksaan Harus Diimbangi Sinergisitas dengan Lembaga Lain)

Politisi Partai Demokrat itu menilai posisi Kejaksaan sebagai institusi harus independen dan berdaulat dalam penegakan hukum. Begitu pula keharusan berkarakter dan berintegritas tinggi. Hinca berpendapat pengangkatan Jaksa Agung atas nama rakyat, sehingga perlu adanya mandat rakyat dalam pengangkatan jabatan Jaksa Agung (melalui DPR, red). “Itu juga jalan pikiran yang bisa diterima karena tadi posisinya,” kata Hinca

Meski demikian, dia berharap bakal adanya masukan dari para pemangku kepentingan. Termasuk Koalisi Masyarakat Sipil yang konsern terhadap perbaikan institusi Kejaksaan. Sebab, pembahasan revisi UU 16/2004 menjadi momentum dalam perbaikan di segala lini institusi Kejaksaan termasuk soal kewenangannya.

Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menilai berbagai ide dan gagasan positif menjadi masukan dalam perbaikan institusi Kejaksaan. Apalagi Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penuntutan kerap terhimpit oleh dua kekuasaan yakni kekuasaan kepolisian sebagai penyidik dan kehakiman. Namun khusus soal mekanisme pengaturan pengangkatan Jaksa Agung menjadi menarik.

“Boleh (untuk mengisi jabatan, red) Jaksa Agung kalau mau fit and proper test di Komisi III. Menarik,” ujarnya singkat.

Rumusan norma pengangkatan dan pemberhentian diatur dalam Pasal 19 UU 16/2004. Namun dalam draf RUU Kejaksaan, tak mengubah Pasal 19 tersebut. Kendati demikian, dalam pembahasan bisa jadi terdapat dinamika antara Komisi III dengan pemerintah. Lagi pula usulan pengaturan mekanisme pengangkatan Jaksa Agung sering menjadi perdebatan dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana pandangan Hinca.

Bisa mencontoh seleksi pimpinan KPK

Terpisah, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fachrizal Afandi mengatakan desain pemilihan Jaksa Agung dapat mencontoh proses pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih dahulu melalui mekanisme pembentukan Panitia Seleksi (Pansel). Nama-nama pendaftar dengan beragam syarat yang ketat menjadi tahapan awal yang mesti dilalui para calon dalam proses seleksi di Pansel.

Setelah melalui tahapan penyaringan di Pansel, sejumlah nama calon disodorkan ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Setelah itu, pengerucutan nama-nama calon hasil uji kelayakan dan kepatutan, disodorkan ke pemerintah untuk dipilih presiden. Setidaknya dengan mekanisme tersebut menjadi lebih transparan dan lebih independen nantinya Jaksa Agung dalam menahkodai Korps Adhiyaksa.

“Posisi Jaksa Agung sebagai anggota kabinet seperti sekarang rawan jadi jalan intervensi politik ke proses penuntutan,” bebernya.

Dia melihat Kejaksaan Indonesia een en ondelbaar (satu dan tak terpisahkan, red) yang hierarkis dan militeristik (garis komando). Alhasil, para jaksa di daerah tak punya pilihan lain selain tunduk dan patuh atas apapun kebijakan dan perintah Jaksa Agung. Nah dampaknya menjadi persoalan bila jabatan Jaksa Agung menjadi bagian dari kabinet di pemerintahan.

Desain independen

Pria yang berhasil mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, Januari lalu berjudul “Maintaining Order: Public Prosecutors in Post Authoritarian Countries, the Case of Indonesia” ini menilai intervensi presiden terhadap proses penuntutan tak akan dapat dihindari. Oleh karenanya, RUU Kejaksaan mesti mengatur jelas desain jabatan Jaksa Agung.

Dia mengusulkan angka 5 tahun untuk jabatan Jaksa Agung. Bila modelnya Jaksa Agung dari internal Kejaksaan, maka masa jabatan Jaksa Agung bergantung pada usia pensiun jaksa. Seperti di kepolisian, masa jabatan Kapolri bergantung pada usia pensiun. Fachrizal menilai idealnya jabatan Jaksa Agung seperti di era R Soeprapto. Sebab, jabatan Jaksa Agung tak masuk kabinet. “Bedanya, zaman R Soeprapto, jabatan Jaksa Agung bagian dari kekuasaan kehakiman.”

Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Reseach Society (IJRS), Dio Ashar Wicaksana berpendapat ke depan institusi Kejaksaan mesti independen dan jauh dari campur tangan kekuatan eksekutif. Sejarah Kejaksaan dalam proses penegakan hukum di era orde lama boleh dibilang amat bertaji. Tepatnya saat Kejaksaan di bawah komando R. Soeprapto sangat independen dalam menjalankan tugas penegakan hukum.

Saat itu, R. Soeprapto tanpa tedeng aling-aling berani menuntut menteri-menteri yang diduga terlibat melakukan tindak pidana korupsi. Sikap tersebut dapat ditempuh lantaran posisi Jaksa Agung independen yang tentu tidak menjadi bagian dari kabinet pemerintahan. Dengan begitu, jabatan Jaksa Agung tak mudah diganti, tak perlu pertanggungjawaban ke presiden, seperti saat ini.

“Ke depan posisi Jaksa Agung harus independen. Jika rekruitmen Jaksa Agung lebih independen akan lebih baik dengan tidak berdasar penunjukan presiden saja,” ujarnya.

Dia menilai mesti dipastikan mekanisme yang transparan, serta adanya standar dan kriteria yang ketat bagi calon Jaksa Agung. Tak kalah penting, poin bebas dari afiliasi partai politik dan kepentingan bisnis menjadi keharusan.

“Agar Kejaksaan menjadi lebih independen tak hanya mengubah mekanisme pemilihan Jaksa Agung semata, tapi juga soal bagaimana agar status kepegawaian jaksa ke diubah. Tak hanya menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi pegawai khusus penegak hukum, seperti halnya kepolisian dan hakim.”

Selain itu, mekanisme anggarannya diubah dengan performance based budgeting, sehingga Kejaksaan menjadi lebih profesional pengelolaanmya, seperti halnya KPK. “Intinya, satu poin saya sepakat jika jaksa mekanisme pemilihannya lebih transparan dan objektif bisa memastikan independensi Jaksa Agung. Tetapi agar kejaksaan lebih profesional dan independen tak hanya mekanisme pemilihan Jaksa Agung, tetapi ada variabel lain yang harus menjadi perhatian.”

Tags:

Berita Terkait